Si Kantong Unik yang Tetap Eksis

Nurseri di beberapa negara membudidayakan si kantong unik ini dengan kultur jaringan. Hasilnya diekspor dan dalam skala industri. Ironisnya, sebagian besar bibitnya berasal dari Indonesia.

ENTAH karena bentuknya yang seperti wayang semar yang buncit, atau seperti kantong yang selalu dibawanya, sampai saat ini belum ada yang tahu dari mana istilah itu berasal. Yang pasti tumbuhan tersebut memiliki keunikan dari fungsi kantongnya yang dapat menjebak serangga atau binatang kecil lainnya.

Nepenthes clipeata Danser, Endemik lokal Bukit Kelam, Kalimantan Barat  (Foto: M. Mansur

Binatang yang terjebak di dalam cairan kantong akan diurai oleh enzim protease, amylase dan lipase yang disebut Nepenthesin.

Beberapa bakteri pengurai seperti Achromatium, Bacteroides, dan Cytophaga menjadi senyawa-senyawa sederhana untuk kebutuhan hidupnya yang kurang tersedia di habitatnya, terutama unsur nitrogen. Memang, umumnya Nepenthes tumbuh di tanah marginal atau kurang subur, seperti gunung kapur, hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan lumut, pinggir danau, pinggir sungai, savanna, atau di tebing-tebing bukit yang curam.

Tetap Eksis

Sejak populer sekitar tahun 2006-2007, tumbuhan yang digolongkan kedalam liana memanjat ini tetap eksis sampai saat ini.

Dulu, banyak penjual tanaman kantong semar yang sumbernya dari hutan, sehingga banyak konsumen yang kecewa karena tanamannya tidak tahan lama dan mati. Namun sekarang beberapa nursery sudah mulai membudidayakannya, baik dari setek batang, pemisahan anakan ataupun dari penyemaian biji. Dengan cara itu, tanaman bisa bertahan hidup lama jika dipelihara dengan baik.

Selain pertumbuhannya yang sangat lambat dibandingkan tanaman hias lainnya, bibitnya –baik untuk bahan setek batang maupun bijinya, susah didapat. Karena itulah banyak penjual tanaman enggan membudidayakannya, meskipun harganya cukup tinggi.

Nepenthes talangensis  Nerz & Wistuba, Endemik lokal Gunung Talang, Sumatra Barat (Foto: M.

Mansur)Nurseri di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, Amerika, Jepang, Srilangka, Thailand dan Malaysia, membudidayakan si kantong unik ini dengan kultur jaringan. Hasilnya diekspor dan dalam skala industri. Ironisnya, sebagian besar bibitnya berasal dari Indonesia.

Penyebaran

Tumbuhan yang digolongkan ke dalam tumbuhan karnivora ini menyebar mulai dari Madagaskar, Srilangka, China bagian selatan, Asia Tenggara, Australia bagian Utara sampai New Caledonia, yang umumnya memiliki hutan hujan tropik basah.

Indonesia merupakan pusat penyebarannya di dunia. Saat ini tercatat ada 82 jenis (76 jenis di antaranya endemik) yang hidup dan tumbuh diberbagai pulau, yaitu di Sumatra (39 jenis), Jawa (3 jenis), Kalimantan (di luar Borneo, 24 jenis), Sulawesi (14 Jenis), Maluku (5 jenis), dan Papua (13 Jenis).

Pemanfaatan

Selain berfungsi sebagai tanaman hias, kantong semar yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Nepenthes dapat digunakan sebagai obat tradisional.

Suku Dayak di Kalimantan, menggunakan cairan dalam kantong muda yang masih menutup untuk obat mata, obat batuk dan obat kulit yang terbakar. Perasan daun atau akarnya juga dapat digunakan sebagai astrigen (larutan penyegar), serta rebusan akarnya sebagai obat sakit perut atau disentri, obat batuk, dan demam.

Beberapa jenis Kantong semar memiliki batang yang cukup liat sehingga tidak jarang penduduk lokal menggunakan sebagai tali pengikat, seperti halnya rotan dan bambu. Di Sumatra Barat, kantong dari jenis ampullaria digunakan untuk membuat kue godah yang terbuat dari campuran tepung, gula dan santan lalu dimasukkan ke dalam kantong Nepenthes ampullaria, kemudian dikukus. Jadilah satu komoditi makanan khas dari Sumatra Barat.

Secara ekologis, tanaman ini juga berfungsi sebagai pengendali serangga, khususnya binatang semut. Nepenthes juga mampu menyerap unsur-unsur mikro logam berat seperti Timbal, Mangan dan Besi seperti yang ditemukan pada Nepenthes macfarlanei yang hidup di hutan pegunungan Genting-Malaysia, sehingga tumbuhan Nepenthes dapat digunakan sebagai “Biomonitoring polusi”.

Konservasi

Deforestasi, kebakaran hutan, alih fungsi hutan, perkebunan dan eksploitasi berlebih untuk tujuan komersil, merupakan penyebab menurunnya populasi Nepenthes di alam. Hal ini bahkan dapat berakibat kepunahan.

Nepenthes tergolong endemik, dan hanya hidup pada satu lokasi tertentu, seperti halnya Nepenthes clipeata dari Bukit Kelam, Kalimantan Barat, atau Nepenthes talangensis, dari Gunung Talang, Sumatra Barat. Berdasarkan status konservasi yang dinilai oleh The International Union for the Conservation of Nature (IUCN), bahwa Indonesia menempati urutan kedua (26 jenis) setelah  Brazil (28 jenis) yang memiliki jumlah Nepenthes yang terancam keberadaanya. Sebanyak 12 jenis diantaranya termasuk Kritis (Critically Endangered), 9 jenis genting (Endangered) dan 5 jenis rentan/langka (Vulnerable).

Konservasi in-situ dapat dilakukan dengan cara memperbanyak individunya di alam dan menjaga habitatnya dari kerusakan. Sedangkan konservasi ek-situ dapat dilakukan dengan cara domestikasi melalui mekanisme budidaya dan pemuliaan di luar habitatnya agar tetap terhindar dari kepunahan dan tetap lestari.

Melihat kondisi keterancaman terhadap keberadaan kantong semar di alam, maka Cross dkk  dalam tulisannya berjudul ”Conservation of Carnivorous Plant in the Age of Extinction” yang diterbitkan pada jurnal Global Ecology and Conservation pada tahun 2020 yang lalu, menulis sepuluh rekomendasi untuk konservasi kantong semar di dunia.

Rekomendasi itu diantaranya dengan mengurangi tingkat hilangnya habitat dan perubahan penggunaan lahan, memperluas Cagar Alam dan membuat kawasan konservasi baru guna fokus pada pelestarian dan perlindungan habitat, serta melakukan survey pada jenis yang ditargetkan yang masih dinilai ”Kurang Data (Data Deficient)” dan studi ekologi untuk mengetahui distribusi dan ancaman yang dihadapi.

Lebih jauh disarankan pula agar yang tumbuh di lahan-lahan milik pribadi, harus diberikan perlindungan hukum yang lebih baik. Harus ada penegakan hukum perlindungan lingkungan yang lebih baik dan lebih konsisten, pendidikan yang lebih baik agar masyarakat dan pemerintah memahami pentingnya ketergantungan manusia pada keanekaragaman hayati dan fungsi ekologi.

Selain itu, perlu dilakukan restorasi ekologi (habitat) yang terdegradasi, memprioritaskan pengelolaan invasif species, pemeliharaan dan pelestarian ekosistem alami dan pemeliharaan fungsi hidrologis. Kebakaran pada habitat kantong semar pun harus diantisipasi.   

Nepenthes harauensis Hernawati, Satria & Lee, Endemik Sumatra Barat (Foto: M. Mansur).    

Cross pun mengingatkan pentingnya tindakan global yang segera dan terpadu untuk menutup pasar tanaman liar (ilegal), dan segera mengakhiri perburuan kantong semar. Disamping itu, penelitian konservasi in-situ harus lebih ditingkatkan untuk melestarikan dan memulihkan habitat alami yang tersisa dan terdegradasi.

Jenis Baru

Dalam dua puluh tahun terakhir ini, ada sembilan belas jenis baru Nepenthes yang ditemukan di Indonesia, yakni delapan jenis dari Pulau Sumatera, dua jenis dari Kalimantan, lima jenis dari Sulawesi, dua jenis dari Maluku, dan 2 jenis dari Papua.

Jumlah tersebut masih dimungkinkan bisa bertambah apabila dilakukan eksplorasi dan inventarisasi ke berbagai pulau khususnya pulau Sumatra yang kemungkinan masih menyimpan banyak jenis-jenis baru, seperti Nepenthes harauensis yang baru-baru ini ditemukan di Sumatra Barat.

Muhammad Mansur. Peneliti Ahli Utama Pada Pusat Riset Ekologi Dan Etnobiologi-BRIN

***Riz***

Redaksi Green Indonesia