GAPKI:  Antara Devinisi dan Metodologi Karbon Sawit

Tantangan dari GAPKI; bagaimana menentukan batas atas emisi (BAE), atau mungkinkah ditetapkan devinisi sebagai ‘hutan sawit’?

BUKANNYA tak peduli tuntutan penurunan emisi, bukan pula tidak tertarik dengan potensi dan peluang pasar karbon. Namun dunia usaha perkebunan kelapa sawit bingung dengan dilema yang dihadapi.

Di satu sisi minyak goreng serta berbagai produk olahan sawit dibutuhkan, dan bahkan merupakan kekuatan ekonomi nasional. Namun di sisi lain kerab dituding sebagai penghasil emisi dan bahkan pelaku deforestasi dan merusak lingkungan.  

Hal itu dikeluhkan Joko Supriono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam acara FGD terkait perdagangan karbon di Novotel Bogor beberapa waktu lalu. Dalam kegiatan yang digelar oleh UNDP dan IPB University tersebut, Joko mengungkapkan bahwa dunia usaha kelapa sawit sebenarnya telah merasa terpanggil dan juga tertarik dengan isu peluang pasar karbon.

“Kami, dunia perkebunan kelapa sawit sudah mulai concern terkait penurunan emisi karbon, tapi khusus untuk sektor perkebunan butuh kajian lebih jauh tentang sistem penghitungan karbon dan lain sebagainya,” ucap Joko.

“Atau kita tantang IPB untuk menetapkan devinisi bahwa perkebunan kelapa sawit itu masuk dalam kategori hutan. Ayo Prof. Dodik, ….. bisakah kebun sawit disebut ‘hutan sawit’?  Ini sebuah tantangan bagi Indonesia,” tuturnya.

Potensi Besar

Lebih jauh Ketum GAPKI tersebut menjelaskan, bahwa dunia usaha sawit adalah industri berbasis biomassa. Ada proses fotosintesa (penyerapan CO₂), namun dalam metode GHG Protocol hal tersebut tidak dihitung. Sedangkan dalam metode ISPO/ISCC/RSPO dihitung, yakni dengan adanya Cut off date.

Untuk itu, menurut Joko, perlu panduan yang jelas secara nasional dalam Identifikasi dan perhitungan emisi GRK.

Dikatakannya pula bahwa entitas perkebunan sawit di Indonesia sangat bervariasi, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebun dengan pabrik, kebun tanpa pabrik, kebun dengan area HCV, kebun dengan area gambut dan sebagainya. Lalu bagaimana batas atas emisi (BAE) ditentukan, dan implikasinya terhadap pajak karbon?

Ketum GAPKI, Joko Supriono

“Standar emisi untuk seKtor perkebunan sawit pun belum ditetapkan secara regulasi. Selama ini ada yang memasukkan faKtor LUC sebagai emisi, namun faKtor sequestrasi belum diakui sebagai carbon removal,” jelas Joko.

Padahal, menurutnya, dengan luasnya perkebunan kelapa sawit Indonesia, seharusnya bisa berkontribusi dalam pencapaian NDC maupun dalam perdagangan karbon. Lebih khusus lagi untuk kepentingan nasional pencapaian net zero emissions.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia