Gambut Potensial Untuk Perdagangan Karbon

Rahasia Karbon di lahan gambut, menjadi magnet perhatian perusahaan yang tengah mengincar potensi perdagangan karbon.

Areal gambut (foto: Cifor)

LAHAN Gambut, atau Peadland menurut Forest Reference Level (FRL), sedang menjadi pusat perhatian perusahaan dalam ranah perdagangan karbon di Indonesia. Meskipun terdapat kontroversi, baik dalam format wajib maupun sukarela, perdagangan karbon diprediksi segera menjadi kenyataan. Oleh karena itu, diharapkan seluruh perusahaan di Indonesia turut serta dalam mewujudkan Nationally Determined Contribution (NDC) secara nasional untuk meraih peluang perdagangan karbon, baik di tingkat domestik maupun internasional.

Potensi cadangan stok karbon di tanah gambut diproyeksikan sepuluh kali lebih besar daripada biomassa tanaman, membuka peluang besar untuk penyimpanan emisi yang signifikan. Studi oleh para ahli mengungkapkan bahwa konsentrasi karbon pada lahan gambut berkisar antara 30-70 g/dm3 atau 30-70 kg/m3, setara dengan 300-700 t/ha/m. Dengan kata lain, pada ketebalan 5 meter, cadangan karbon dapat mencapai 1500-3500 t/ha.

Walaupun literatur menyebutkan bahwa kedalaman gambut dapat mencapai 15 meter, umumnya di Indonesia, gambut matang (Saprik), gambut setengah matang (Hemik), dan gambut mentah (Fibrik) memiliki kedalaman sekitar 2-8 meter. Kedalaman gambut ini memengaruhi tingkat cadangan karbon di dalamnya. Namun, ketika mencapai kedalaman lebih dari 15 meter, konsentrasi karbon cenderung rendah dan dapat diabaikan.

Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), tanah gambut memiliki kapasitas penyimpanan karbon terbesar dibandingkan biomassa tanaman dari berbagai sumber penyimpanan karbon. Meskipun pada lanskap yang lebih kering, kandungan karbon dalam biomassa tanaman dapat melampaui jumlah karbon di dalam tanah, tergantung pada jenis dan kepadatan vegetasi yang menutupi area tersebut. Hal ini menekankan peran penting tanah gambut dalam mitigasi emisi karbon, menjadikannya fokus utama dalam upaya pelestarian lingkungan.

Sejalan dengan itu, perdagangan karbon, sebagai proses penjualan dan pembelian Sertifikat Penurunan Emisi (SPE), merupakan langkah penting yang dikeluarkan oleh KLHK setelah melaksanakan Aksi Mitigasi atau adaptasi. SPE hanya dapat dikeluarkan setelah menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) yang mencakup faktor emisi, rencana aksi mitigasi, dan baseline.

Delta dari Aksi Mitigasi dan Baseline ini kemudian menjadi dasar perdagangan, baik secara Mandatory maupun Voluntary, membuka peluang bagi perusahaan untuk berkontribusi pada upaya global dalam mengurangi emisi karbon. Sehingga, melalui perdagangan karbon, perusahaan dapat secara konkret mendukung pelestarian tanah gambut dan turut serta dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.***

Fuji A. Kartono

Redaksi Green Indonesia