Oleh: Nur Wakhid*)
Merubah praktik tebas dan bakar terbukti mengurangi emisi karbondiosida saat persiapan lahan di lahan gambut terdegradasi. Ada dua cara yang penulis sarankan dalam membuka lahan tanpa bakar.
LAHAN gambut tropis adalah salah-satu penyimpan karbon terbesar di dunia. Perannya sangat penting dalam keseimbangan karbon global. Walaupun luasnya hanya sekitar 0.25% permukaan bumi, tetapi menyimpan karbon lebih dari 20% total karbon pada lahan gambut di dunia ini.
Lahan gambut tropis biasanya berasosiasi dengan hutan rawa. Sering tergenang. Akan tetapi, sejak beberapa dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan pangan serta energi di dunia, terjadi perubahan penggunaan lahan gambut dari hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
Perubahan tersebut biasanya diawali dengan penebangan pohon besar dan disertai dengan pembangunan saluran drainase untuk mengurangi air yang menumpuk di lahan. Akibatnya, ekosistem gambut banyak yang terdegradasi menjadi lahan semak belukar. Lahan yang biasanya tergenang, berubah menjadi kering. Alhasil, kumpulan bahan organik di dalamnya juga menjadi kering dan mudah terbakar, terutama di musim kemarau.
Kebakaran Lahan
Indonesia telah mengalami beberapa kali kebakaran hutan dan lahan, baik di tanah gambut maupun mineral. Kerugian yang disebabkannya sungguh besar, mulai dari aspek ekonomi, ekologi maupun kesehatan.
Sebagian besar kebakaran terutama di lahan gambut dipicu oleh ulah manusia baik karena kesengajaan maupun kelalaian. Salah-satu praktik yang dianggap kurang tepat karena bisa menyebabkan kebakaran lahan adalah tebas dan bakar. Praktik tebas dan bakar adalah salah satu cara pembukaan lahan yang telah lama dan menjadi budaya masyarakat di Indonesia.
Praktik tersebut telah dilakukan masyarakat Indonesia sejak dulu dan masih berlanjut hingga saat ini, baik dikerjakan oleh individu masyarakat maupun korporasi atau perusahaan.
Pada masa lalu, praktik tebas dan bakar merupakan satu-satunya cara paling mudah, menjadi kekayaan lokal dan mungkin berkelanjutan. Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, keterbatasan lahan, kebakaran, serta meningkatnya suhu udara akibat perubahan iklim, maka praktik tebas dan bakar tersebut perlu diubah. Praktik ini tidak hanya berkembang di lahan gambut, tetapi juga berkembang di tanah mineral.
Pada tanah mineral, pembakaran atau kebakaran lahan disinyalir juga menimbulkan dampak buruk bagi nutrisi tanah terutama dalam jangka waktu yang panjang. Sampai saat ini, belum ada data berapa persen kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh praktik tebas dan bakar. Akan tetapi, sebagian besar kebakaran hutan dan lahan tersebut terjadi karena dipicu oleh ulah manusia.
Merubah Budaya
Mengubah praktik persiapan lahan melalui tebas dan bakar menjadi tebas dan tanpa bakar di lahan gambut tidak serta merta bisa dilakukan dalam sekejap. Hal ini terjadi karena praktik tebas dan bakar telah menjadi kebudayaan masyarakat di sekitar lahan gambut dan hutan dalam jangka waktu yang lama, mudah dan biaya yang murah.
Oleh karena itu dibutuhkan keseriusan segala pihak dalam mengubah praktik tersebut. Pada tahun 2022, Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong tercapainya tingkat emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030 melalui FOLU Net Sink 2030.
Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai dimana tingkat serapan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.
Pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon (sink). Mengubah praktik tebas dan bakar untuk persiapan lahan termasuk kedalam empat strategi utama tersebut karena mendukung pengurangan deforestasi, konservasi lahan, perlindungan gambut dan meningkatkan serapan karbon.
Terus Berlanjut
Upaya pencegahan kebakaran gambut telah lama dilakukan Pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan; yaitu larangan pembukaan lahan menggunakan api sejak tahun 2009 melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 dan perubahannya PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Juga melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Akan tetapi kebakaran hutan dan lahan gambut masih terjadi pada setiap musim kemarau, terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan. Apalagi pada musim kemarau panjang yang dipengaruhi oleh fenomena El Nino kuat seperti pada tahun 1982, 1997, 2015, dan 2019.
Berdasarkan data historis kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama periode 8 tahun terakhir dari tahun 2015 sampai 2022, kebakaran paling besar terjadi pada tahun 2015 dan 2019 yang melahap sekitar 2,6 dan 1,6 juta hektare hutan dan lahan di Indonesia (KLHK, 2022). Bahkan, pada tahun 2022, masih terjadi kebakaran hutan dan lahan walaupun tahun ini identik dengan tahun kemarau basah.
Kebakaran di lahan gambut perlu mendapat perhatian lebih karena gambut merupakan salah satu penyimpan karbon terbesar di muka bumi ini. Selain merugikan secara ekonomi dan kesehatan, kebakaran di lahan gambut juga mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar sampai sekitar 1.5 juta Gg CO2 pada tahun 2015.
Praktik tebas dan bakar pada persiapan di lahan gambut adalah salah satu penyumbang terjadinya kebakaran di lahan gambut karena memicu kebakaran yang lebih luas. Selain sulit dikendalikan, pembakaran bahan organik pada lahan gambut yang telah dipadamkan dan dianggap selesai bisa menyebabkan kebakaran meluas karena api menjalar melalui lapisan organik di dalam gambut.
Kebakaran di lahan gambut sulit untuk dipadamkan karena api menjalar di lapisan dalam gambut yang merupakan kumpulan bahan organik yang telah kering seperti daun, cabang, dan batang pohon. Bahan organik tersebut merupakan bahan bakar efektif yang membuat api tetap membara di bawah permukaan gambut meskipun kebakaran sudah tidak terlihat di permukaan.
Berdasarkan percobaan tahun 2017, yang membandingkan beberapa persiapan lahan pada tanah gambut dangkal yang digunakan untuk pertanian cabe di Kalimantan Tengah, metode tebas dan bakar gulma ternyata menghasilkan emisi karbondioksida dari tanah paling tinggi dibandingkan metode persiapan lahan yang lain (Maftuah dan Wakhid, 2019).
Metode yang dibandingkan saat persiapan lahan selain tebas dan bakar pada percobaan tersebut adalah tebas dan menjadikan gulma atau rumput sebagai kompos tanpa mulsa, tebas dan menggunakan gulma sebagai mulsa, serta tebas dan menggunakan gulma sebagai kompos yang dikombinasikan dengan mulsa plastik. Seluruh perbandingan tersebut dilakukan pada kondisi lahan baik dengan surjan maupun tanpa surjan.
Tebas dan Kompos-kan
Berdasarkan pengukuran selama 1 musim (4 kali pengukuran) sejak pengolahan tanah sampai sesaat sebelum panen, praktik persiapan lahan dengan tebas dan pengomposan menghasilkan emisi karbondioksida paling kecil dibandingkan metode lainnya. Teknik persiapan lahan dengan tebas dan pengomposan menghasilkan emisi karbondioksida paling rendah (1.20 CO2 t ha-1) dibandingkan dengan teknik tebas dan bakar yaitu 4.98 CO2 t ha-1.
Teknik tebas dan pemulsaan menggunakan gulma serta teknik tebas, pengomposan dan mulsa plastik, menghasilkan tingkat emisi karbondioksida yang lebih rendah daripada teknik tebas dan bakar, tetapi lebih tinggi daripada teknik tebas dan pengomposan (Maftuah & Wakhid 2019).
Menariknya, hasil produksi cabai antara beberapa metode yang berbeda tersebut ternyata tidak menunjukkan perbadaan yang nyata. Selain itu, persiapan lahan dan penataan lahan dengan teknik tebas dan pengomposan ternyata juga ternyata berpengaruh positif terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil cabai merah (Capsicum annum) di lahan gambut (Maftuah dan Hayati, 2019).
Dua Jurus Tanpa Bakar
Berdasarkan beberapa hal seperti telah diuraikan tadi, penulis menyimpulkan ada dua trik pembukaan lahan gambut yang aman.
Yang pertama ialah; tebas dan pengomposan. Melalui cara ini, alih-alih membakar lahan setelah ditebas, bahan organik seperti kayu, daun dan serasah bisa dibuat menjadi kompos untuk menambah kesuburan tanah.
Pengomposan tersebut bisa dilakukan dengan membenam bahan organik ke dalam tanah ataupun menggunakan starter mikroba atau decomposer untuk membuat kompos. Selain bisa menambah kesuburan tanah dan sebagai pelengkap pupuk, pengomposan juga mengurangi dampak gas rumah kaca akibat pembakaran.
Yang kedua ialah; tebas dan gunakan sisa tanaman sebagai mulsa. Dengan trik ini, selain dibuat sebagai kompos, sisa-sisa tanaman juga bisa digunakan sebagai mulsa.
Mulsa organik berfungsi untuk mempertahankan kelembaban tanah dengan mengurangi evaporasi, mempertahankan kegemburan tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan mendukung aktivitas biologi atau mikroorganisme tanah yang ujungnya meningkatkan kesuburan tanah.
Selain itu, mulsa berperan dalam konservasi tanah dan air seperti mengurangi erosi tanah. Setelah melapuk, mulsa organik juga bisa meningkatkan kadar bahan organik atau hara yang mendukung pertumbuhan tanaman.
Akan tetapi, seluruh teknologi harus dilakukan sesuai dengan keadaan lingkungan dan budaya setempat. Selain itu, penyuluhan atau alih teknologi persiapan lahan tanpa bakar perlu dilakukan pada setiap lokasi yang berbeda karena kondisi tanaman atau tanah juga kemungkinan bisa berbeda.
Disamping transfer pengetahuan, praktik langsung dalam bentuk demplot juga perlu dilakukan agar petani bisa melakukan praktik langsung persiapan lahan tanpa bakar sesuai kondisi setempat.*
*) Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN