Dibalik Viralnya Lendir Laut Teluk Bima

Lendir laut? Ada apa, mengapa, dan bagaimana teknik pengendaliannya?

LAUT berlendir? Kok bisa? Namun fenomena ini cukup viral sejak beberapa waktu belakangan.

Lendir laut atau “sea snot” baru-baru ini terjadi di Perairan Teluk Bima. Air laut di lokasi itu berubah warna, menjadi cokelat dengan gradasi warna persis seperti padang pasir.

Peristiwa lendir laut sebenarnya bukan sesuatu yang baru, hal ini juga pernah viral di Turki dan membuat Presiden Turki, Erdogan, memerintahkan peneliti untuk segera mengatasi kejadian yang menyebabkan negara tersebut kehilangan pemasukan dari sektor perikanan.

Faktor Penyebab

Lalu apa sebenarnya lendir laut itu?

Lendir laut terbentuk akibat peningkatan fluktuasi populasi mikroalga dalam keadaan yang jauh menyimpang dari keadaan keseimbangan.  Peristiwa lendir laut ini sedikit banyak mirip dengan “Red tide”, yang menyebakan perairan mengalami perubahan warna akibat ledakan fitoplankton secara tiba-tiba (blooming).

Fitoplankton yang meledak jumlahnya itu ialah jenis dinoflagellata. Penyebab ledakan mikroalga dari golongan diatom ini adalah eutrofikasi dan pemanasan global.

Sumber eutrofikasi (kondisi perairan yang terlalu “subur”) adalah 10% berasal dari proses alamiah di laut itu sendiri (dalam hal ini pemanasan air laut), 7% dari industri, 11% dari detergen, 17% dari pupuk pertanian, serta 23% dari limbah pemukiman (sampah organik/anorganik) dan 32%, dari limbah peternakan.

Antropogenik atau aktivitas masyarakat modern, menjadi penyumbang terbesar bagi lepasnya fosfat dan nitrat ke lingkungan air. Inilah penyebab eutrofikasi itu. Mengapa? Karena limbah yang mengandung unsur fosfat dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan fitoplankton dan mikroalga lebih banyak dan lebih cepat dibanding pertumbuhan normal.

Kondisi perairan yang “panas” dan asam, menyebabkan mikroalga ini mengeluarkan lendir akibat stress. Ketebalan lendir dan distribusi mikroalga ini tergantung dari seberapa parah “ketidaknormalan” suhu, pH, kandungan oksigen (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), dan faktor fisika kimia air laut.

Dinamika oseanografi dan pemanasan global juga sangat berpengaruh terhadap peristiwa lendir laut ini. Dimana mikroalga yang terbentuk akibat eutrofikasi juga merupakan organisme planktonik. Artinya, sistem pergerakannya dipengaruhi oleh arus, angin dan suhu air laut. Suhu air di Laut Bima yang tinggi akibat pergantian musim yang sedang berlangsung di Indonesia, juga merupakan faktor mempercepat terjadinya peristiwa lendir laut.

Dampak Ekologis dan Ekonomi

Dampak dari peristiwa fenomena ini menyebabkan air laut anoksik (miskin oksigen terlarut), sehingga biota laut berkompetisi untuk mendapatkan oksigen, yang akhirnya menyebabkan kematian biota laut. Hanya mikroalga yang dapat bertahan dalam kasus ini. Hal ini tentu saja berdampak panjang pada jaring makanan biota laut.

Dari segi ekonomi, sektor pariwisata Pantai Amahami di Bima menderita kerugian akibat wisatawan enggan berkunjung, karena warna air laut yang berubah. Disamping itu, bau air laut pun tak sedap, seperti bau “lumut” bercampur bangkai ikan. Padahal pada saat ini merupakan peak season libur lebaran, dimana tahun ini masyarakat sudah kembali mudik.

Kerugian ekonomi berikutnya ialah dari sektor perikanan, dimana jumlah ikan yang ditangkap menurun dari jumlah tangkapan biasanya. Kondisi tersebut membuat daerah tangkap nelayan semakin luas, dan tentu saja menyebabkan semakin besarnya cost yang dikeluarkan untuk bahan bakar kapal.

Pengendalian

Sama seperti datangnya yang cepat dan tiba-tiba, lendir laut ini juga akan berangsur normal dengan sendirinya seiring dengan perubahan arus laut (upwelling dan downwelling).

Memang, perubahan pola arus laut bisa mempengaruhi migrasi atau pergerakan mikroalga yang sifatnya planktonik (organisme yang melayang dan pergerakannya tergantung dari pola arus laut) tersebar dan pengenceran zat kontaminan.

Sementara pengendalian secara fisik dapat dilakukan, yaitu dengan mengambil lapisan sea snot di laut. Hal ini bisa menjadi alternatif untuk mempercepat laut kembali normal.

Sedangkan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, supaya peristiwa lendir laut ini tidak lagi terjadi, antara lain dengan mengurangi nutrien yang masuk ke perairan laut. Bagaimana?

Sederhananya ialah dengan menerapkan peternakan ramah lingkungan, mengurangi pemakaian pestisida serta pupuk kimia, dan menggantinya dengan pestisida nabati dan pupuk organik.

Selain lebih murah, tindakan kecil ini efektif dapat mengurangi faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan perairan penyebab eutrofikasi, yang menjadi faktor utama blooming dinoflagelata, pemicu lendir laut.

Vivin Silvaliandra Sihombing, Anita Rianti, Said Fahmi, Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN

***Riz***

Redaksi Green Indonesia