“Bila itu sudah berjalan dan perdagangannya lancar, maka akan memberikan pemasukan bagi negara. SPE akan dikenakan PNBP sebesar tiga ribu rupiah per lembar sertifikat.”
“KARBON itu ada masa emasnya (golden momentum),” jelas Dr. Dudi Iskandar, Kasubdit PNBP – Direktorat IPHH, Ditjen Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (IPHL).
Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri pertama pada Pelatihan Penghitungan Karbon (Workshop Carbon Accounting) yang digelar Direktorat Iuran dan Penatausahaan Hasil Hutan (IPHK) – Ditjen Pengelolaan Hutan Lestari (IPHL) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI di Ranca Upas – Ciwidey, Bandung beberapa hari lalu.
“Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai masa emas itu, dengan riset dan development, perancangan, dan pengeluaran aturan-aturan,” jelasnya.
Terkait judul materi yang disampaikannya, yakni “Kebijakan Terkait PNBP Perdagangan Karbon”, Dudi menyampaikan bahwa sudah ada yang memayunginya, yakni Undang-undang PNBP no 9 Tahun 2018. “Itulah yang mendasari terkait pungutan dari hasil pemanfaatan sumberdaya hutan, termasuk karbon hutan,” jelas Dudi.
Disamping itu ada beberapa undang-undang lain yang memayungi PNBP, begitu juga Peraturan Pemerintah (PP), tambahnya.
Lebih jauh Dudi menjelaskan, bahwa secara nasional PNBP hutan komposisinya selama ini masih fokus pada hasil hutan berupa kayu.
Dalam paparannya Dudi banyak melontarkan pertanyaan kepada peserta training, yang juga semuanya berasal dari beberapa jajaran di KLHK. Termasuk tentang FOLU net sink.
Berbagai jawaban dari peserta pun disempurnakan oleh Dudi, bahwa FOLU net sink, sederhananya ialah mengembalikan hutan kepada kondisi semula. “Kira-kira begitu filosofinya,” jelasnya.
Jadi, menurutnya, tidak mudah untuk bisa berdagang karbon. “Butuh banyak langkah yang harus ditempuh, “Bila itu sudah berjalan dan perdagangannya lancar, maka akan memberikan pemasukan bagi negara,” jelasnya..
***Riz***