Gambut Kalimantan, ‘Benteng’ Tumbuhan Langka dan Strategi Konservasinya

Oleh:  Ni Kadek Erosi Undaharta*)

Restorasi hutan rawa gambut di Kalimantan

INDONESIA memiliki luas hutan rawa gambut terbesar di Asia Tenggara. Sementara Kalimantan tercatat memiliki rawa gambut nomor urut kedua di Indonesia. Sebagai lahan basah, perannya sangat penting dalam membantu mengatasi perubahan iklim. Diantaranya dalam meminimalkan resiko banjir dan melestarikan keanekaragaman hayati.

Secara alami, hutan gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal hal ini disebabkan karena hutan rawa gambut selalu tergenang air sehingga memiliki tingkat kesuburan yang rendah, dan kondisi pH yang masam. Selain itu, lahan basah ini berasal dari material organik dan telah mengendap selama ribuan tahun.

Disisi lain, kandungan karbon yang dimiliki sangat tinggi jika dibandingkan dengan tanah mineral, sehingga apabila terjadi kebakaran maka karbon ini akan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK). Oleh karena itu, sangat penting dalam menjaga hutan gambut agar terhindar dari bencana kebakaran dan menjaga kelestariannya. Pengeloaan lahan gambut yang baik dan benar tentunya akan mendatangkan keuntungan ekonomi serta mempertahankan karbon yang tersimpan bahkan keanekaragaman hayati dapat terselamatkan.

Benteng Biodiversity

Ketebalan dan kedalaman gambut akan menjadi faktor yang mempengaruhi vegetasi penyusun hutan rawa gambut. Semakin tebal gambut, maka jenis vegetasi yang dijumpai akan semakin sedikit. Bahkan, hutan rawa gambut menjadi tantangan bertahan hidup bagi suatu jenis tumbuhan di dalamnya.

Hutan rawa gambut memiliki kenekaragaman jenis lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan pada tanah mineral atau hutan tropis lainnya. Namun, berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) hutan rawa gambut di Kalimantan diketahui menyimpan jenis langka lebih dari 26 jenis. Luar biasa. Sehingga tidak heran jika hutan rawa gambut menjadi tempat berlindungnya jenis langka dan terancam.

Jenis yang masuk dalam IUCN juga memiliki nilai ekonomi seperti Shorea teysmanniana, Shorea rugosa, Shorea balangeran, Shorea uliginosa, Shorea platycarpa, Gonystylus bancanus ditemukan di hutan rawa gambut Kalimantan.

Mekanisme Adaptasi

Kebakaran hutan dan degradasi lahan yang semakin sering terjadi di hutan rawa gambut membuat keanekaragaman jenis semakin terancam keberadaannya. Untuk itu, pentingnya menjaga hutan rawa gambut tetap lestari dan berkelanjutan adalah mutlak. Banyak upaya yang dapat dilakukan seperti restorasi dan penelitian jangka panjang terhadap konservasi tumbuhan langka di hutan rawa gambut dengan melibatkan stakeholder terkait.

Saat ini, Shorea balangeran dianggap sebagai jenis terpilih untuk restorasi karena dianggap sebagai jenis langka, endemik, bernilai ekonomi dan sesuai dengan habitat asli rawa gambut. Meskipun jenis ini diketahui menjadi dominan, namun permudaan jenis ini tergolong rendah, sehingga jika kondisi ini dibiarkan maka dapat menyebabkan kepunahan.

Dengan demikian, pemahaman terhadap mekanisme adaptasi pada level ekologi dan molekuler sangat penting dalam mengembangkan strategi pemilihan jenis. Tidak hanya itu, aspek ilmu terkait lainnya seperti ekofisiologi melalui parameter fotosintesis perlu dilakukan terhadap pemilihan Shorea balangeran sebagai jenis terpilih untuk restorasi. Penelitian tentang ini juga penting dilakukan tidak hanya untuk Shorea balangeran, namun untuk semua jenis yang akan direkomendasikan sebagai jenis terpilih untuk restorasi di hutan rawa gambut.

Restorasi hutan rawa gambut di Kalimantan

Mengingat restorasi sebagai bagian yang sangat krusial dalam strategi konservasi tumbuhan langka khususnya di hutan rawa gambut dimana termasuk lahan marjinal dan perlu penanganan khusus sehingga diperlukan perencanaan yang matang.

Pentingnya melakukan restorasi yang tepat tentunya akan mensukseskan tujuan restorasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, memulihkan ekosistem lahan, mencegah kebakaran dan tentunya mengkonservasi jenis dari kelangkaan.

*)Peneliti, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Redaksi Green Indonesia