Oleh: Suhartono1 dan Endah Suhaendah2
Peluang ekonominya cukup menggiurkan. Namun dibalik itu, jika tidak ada upaya pelestarian maka tumbuhan ini semakin terancam di habitatnya.
PERSEPSI bisa saja berubah, baik penilaian terhadap sesama manusia, binatang, tumbuhan dan benda lainnya. Salah-satu contoh menarik adalah fenomena yang terjadi belakangan ini terhadap tumbuhan liar dengan daerah Cariang (Sunda) atau Nampu (Jawa).
Dalam bahasa latin cariang dikenal dengan nama Halmonela javanica untuk cariang hijau dan Halmonela oculta untuk jenis cariang merah. Tumbuhan rimpang yang berasal dari family Araceae dan masuk golongan talas-talasan atau keladi.
Tumbuhan ini biasanya tumbuh subur pada tanah yang lembab sehingga banyak ditemukan di daerah sekitar lembah ataupun pinggir sungai. Pemanfaatannya tumbuhan ini belum banyak diketahui masyarakat.
Tapi jangan salah, di beberapa daerah tumbuhan ini sudah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti bungkus beras ketan saat fermentasi dalam pembuatan tape, menutup area sadapan aren, dan berbagai keperluan acara tradisi masyarakat Sunda.
Gulma, Tapi Dibutuhkan
Walaupun sudah ada masyarakat yang memanfaatkan untuk hal positif, akan tetapi secara umum cariang ini masih dinilai sebagai tumbuhan liar yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh petani. Istilah dalam dunia pertanian, jenis yang tumbuhan tidak dikehendaki ini lazim disebut sebagai “gulma”.
Sifatnya cenderung invasif. Tumbuhan ini dapat berkembang dengan pesat, karena memiliki rimpang yang berfungsi juga sebagai umbi yang akan tumbuh menjadi anakan baru. Seperti halnya ilalang, cariang juga cenderung menyerap unsur hara yang dapat mengalahkan tanaman lain. Karena itulah, petani masih menganggapnya sebagai tanaman pengganggu.
Pada saat pandemi covid, hampir berbagai komoditi pertanian mengalami kejatuhan harga karena keterbatasan akses untuk distribusi. Namun pada saat yang sama, ada beberapa komoditi yang justru booming. Memang, dalam dunia bisnis pertanian sering terjadi fenomena ini dan tak pernah diprediksi.
Masih ingatkah dengan tanaman hias anthorium yang pernah berjaya pada masanya. Begitu juga tanaman hias aglonema dan keladi yang juga booming pada saat pandemi. Hal ini pula yang terjadi dengan cariang. Pada masa covid daun cariang banyak dicari.
Untuk Apa ?
Saat penulis berkunjung ke salah satu daerah di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Sukamaju Kecamatan Cihaurbeuti. Di sana ada seorang mienial yang mengolah daun cariang menjadi daun rajangan yang bernilai ekspor. Pak Tatang, beliau seorang Kepala Dusun yang cukup visioner ingin memajukan perekonomian masyarakat melalui pembangunan pertanian yang berorientasi bisnis.
Ide bisnisnya berawal dari seseorang yang menawarkan kerjasama usaha penanaman talas beneng untuk memproduksi daun talas rajang kering.
Singkat cerita Tatang bersama kelompok petani di Desa Sukamaju memesan bibit talas beneng dan menanamnya. Selain itu, beliau juga membangun instalasi pengolahan daun talas beneng menjadi daun rajang kering.
Beberapa bulan kemudian, tiba saatnya panen daun talas beneng. Petani Tatang bersama kelompok taninya memanen dan mengolahnya menjadi daun rajang kering. Proses budidaya dan pengolahan tidak menemukan kendala. Namun ketika akan memasarkan produknya, ditemui kesulitan mencari pasar.
Tak patah semangat, Tatang bersama kelompok taninya selalu berusaha mencari informasi pasar daun talas beneng hingga suatu ketika beliau ketemu seseorang yang mengaku importir daun talas beneng. Dari situlah kerjasama penjualan daun talas beneng dimulai.
Permintaan daun rajang talas beneng semakin bertambah namun kapasitas produksi daun talas beneng dari kelompok petani belum memadai. Dari situlah, pencarian barang substitusi daun talas beneng dimulai, hingga ketemulah daun talas cariang sebagai penggantinya.
Setelah daun talas cariang dinyatakan dapat menggantikan daun talas beneng, produksi daun rajangan beralih ke daun cariang. Pemasok daun cariang datang juga dari luar daerah seperti Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Garut.
Persepsi dan Nilai Ekonomi
Bagian cariang yang dapat dimanfaatkan tidak hanya daunnya, tetapi umbinya. Di dalam umbi tersebut terkandung bahan aktif yang dapat dijadikan obat.
Beberapa penelitian di luar negeri justru banyak mengekplorasi umbinya daripada bagian daun. Namun demikian yang membuat cariang menjadi perhatian saat ini karena nilai daunnya yang fantastis. Dari hanya dipandang sebagai gulma, sekarang menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.
Menurut beberapa informasi, rajangan daun cariang ataupun daun talas beneng diekpor ke Australia. Konon akan digunakan sebagai bahan baku pengganti daun tembakau pada industri rokok. Ada juga sumber yang menyatakan bahwa daun cariang ataupun talas kering tersebut dijadikan bahan baku kosmetik dan pupuk organik.
Terlepas mau dijadikan apa di luar negeri, yang jelas saat ini daun cariang telah menjadi komoditi ekspor yang bernilai ekonomi.
Daun cariang yang diperoleh dari alam dihargai Rp1.000 per kilo gramnya. Setelah diolah menjadi daun rajang kering daun cariang dijual dengan kisaran harga Rp12.000 – 17.000 tergantung kualitas hasil rajangan.
Untuk mendapatkan satu kilogram daun rajang dikering dibutuhkan kurang lebih 7 kilogram daun cariang basah. Dengan demikian nilai tambah pengolahan daun cariang adalah Rp5000 per kilogram untuk grade paling bontot dan Rp10.000 per kilogram untuk grade hasil rajangan tertinggi.
Usaha mengolah daun cariang cukup menggiurkan jika dilihat dari potensi keuntungan yang diperoleh. Tentunya keuntungan ini dapat meningkat apabila harga jual naik, dan kondisi permintaan pasar meningkat.
Namun demikian ekploitasi besar-besaran daun cariang juga berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan yaitu semakin langkanya tumbuhan ini di alam liar. Apalagi, baru-baru ini ada informasi bahwa umbi cariang juga laku dijual.
Apabila ekploitasi umbi cariang dilakukan maka potensi kepunahan tumbuhan ini semakin mendekat. Tentu lain cerita apabila yang dimanfaatkan hanya daunnya yang akan terubus kembali.
Cerita diatas menunjukkan betapa penilaian terhadap sesuatu itu cukup dinamis. Seperti halnya cariang yang sebelumnya diabaikan atau dianggap remeh. Dalam masyarakat, terkadang ada hal-hal yang dianggap tidak berharga atau tidak penting pada suatu waktu. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan, pandangan sempit, atau kurangnya apresiasi terhadap nilai-nilai tertentu.
Seiring berjalannya waktu, persepsi terhadap cariang mulai berubah secara signifikan. Sebagian masyarakat mulai menyadari nilai manfaat dari tumbuhan ini. Mereka menyadari bahwa cariang adalah tumbuhan yang bernilai ekonomi yang dapat menjadi sumber pendapatan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup.
Akibat perubahan persepsi tersebut, cariang sekarang menjadi sesuatu yang dicari dan dihargai. Pemanfaatan caring menjadi produk yang bernilai ekonomi telah membuka sumber mata pencaharian baru seperti perajang, pedagang dan pemungut daun cariang.
Sayangnya belum ada perhatian dari pemerintah maupun swasta yang mendorong pengelolaan tumbuhan jenis ini menjadi komoditas perdagangan. Hingga kini, cariang masih tumbuh liar belum ada upaya pembudidayaan.*
1Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, 2Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN