Pembungkus Alami: Ramah Lingkungan, Solusi Polusi Plastik

Intani Quarta Lailaty*). Penulis ini aktif terlibat berbagai kegiatan kerja sama penelitian baik dengan organisasi nasional dan internasional.Telah banyak artikelnya yang dipublikasikan dalam jurnal nasional dan internasional, serta prosiding terindeks global. Berikut tulisan ilimiah yang dikirimnya ke Redaksi GI.

FENOMENA sampah plastik merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang menjadi perhatian khusus di seluruh dunia. Sampah plastik yang sulit terurai menyebabkan pencemaran tanah, air, maupun udara. Penguraian sampah plastik yang dilakukan secara konvensional, seperti dibakar, juga menimbulkan permasalahan bagi kulit, pernapasan, dan bersifat karsinogenik. Ada pula mikroplastik yang semakin banyak mencemari perairan dan bermuara ke laut. Mikroplastik dapat tertelan oleh organisme dan berakumulasi hingga ke konsumen puncak, termasuk manusia.

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah mencatat 13.19 juta ton timbulan sampah dari 174 Kabupaten/Kota di Indonesia sepanjang tahun 2022. Mayoritas timbulan sampah nasional berupa sampah sisa makanan sebanyak 41.1%, diikuti sampah plastik dengan proporsi 18.4%. Di sisi lain, pengurangan sampah tahunan mencapai 20.92% atau 2.76 juta ton per tahun 2022.

Saat ini berbagai upaya terus dilakukan untuk mengurangi jumlah sampah plastik. Dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, disebutkan larangan penggunaan plastik sekali pakai di Indonesia.

Dalam konferensi pers pada Hari Peduli Sampah Nasional, Pemerintah Indonesia melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga telah berkomitmen untuk tidak menambah Tempat Pembuangan Akhir atau TPA baru pada tahun 2030.

Sinergitas pengelolaan sampah dari hulu harus tercapai untuk mengurangi beban TPA, seperti penyediaan tempat pembuangan sampah 3R, bank sampah, kolaborasi dengan pihak swasta, serta aspek penunjang lainnya. Selain itu, upaya tersebut harus dibarengi dengan edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan budaya mengelola sampah mandiri dan mengurangi sampah plastik.

Gerakan pengurangan sampah plastik ini sesuai dengan tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2023, yang berfokus pada solusi polusi plastik. Konsep ini diusung untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya polusi plastik, hingga langkah-langkah dan konsekuensi dalam mengatasi polusi plastik. Saatnya kita mengkampanyekan #BeatPlasticPollution.

Pembungkus Alami di Sekitar Kita

Pengurangan sampah plastik dapat dilakukan dari aktivitas dan lingkungan terkecil kita masing-masing, misalnya pemilihan bungkus makanan. Daun dapat menjadi salah satu alternatif pembungkus berbagai jenis makanan yang ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan daun sebagai pembungkus makanan juga dapat melestarikan kearifan lokal di Indonesia.

Dalam artikel Dewi dkk. (2023) dilaporkan bahwa masyarakat di lima desa pada area Resort Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), secara turun temurun masih menggunakan bahan alami sebagai pembungkus makanan. Menurut survei etnobotani yang dilakukan oleh para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional berkolaborasi dengan TNGHS dan Yayasan Botani Tropika Indonesia, terdapat enam jenis tanaman yang digunakan oleh masyarakat Cikaniki sebagai pembungkus alami.

Daun pisang atau daun “Cau Kole” sebutan warga Sunda (Musa acuminata, Musaceae) dan “Hamerang” (Ficus padana, Moraceae) adalah dua jenis tanaman yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk mengemas bahan makanan maupun masakan matang.

Selain itu, daun “Talas” (Colocasia esculenta), “Congkok” (Curculigo capitulata) dan “Cariang” (Schismatoglottis calyptrata) juga banyak dimanfaatkan sebagai pembungkus oleh masyarakat di Cikaniki karena memiliki lembaran daun yang lebar. Daun “Kawung” (Arenga pinata) secara spesifik disebut oleh masyarakat untuk membungkus rokok tembakau. Menurut mereka, daun Kawung bersifat tahan panas dan tidak mudah terbakar.

Selain di area Cikaniki-TNGHS, Jawa Barat, masyarakat Indonesia di daerah lain tentunya juga memiliki budaya dalam membungkus dan menyimpan bahan makanan secara tradisional. Berbagai jenis tanaman dari pekarangan rumah dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus, seperti daun jambu, daun bambu, daun simpor, daun jati, daun kelapa, daun mangkokan dan kulit jagung. Apakah anda sudah pernah menggunakannya?

Apik, Aromatik, dan Artistik

Penggunaan bahan alami dari tumbuhan sebagai pembungkus atau kemasan makanan memiliki berbagai keunggulan. Daun atau pelepah bersifat ramah lingkungan dan dapat terurai sempurna di alam. Selain itu, pembungkus dari daun baik dan aman digunakan karena tidak beracun dan tidak mengakibatkan iritasi apabila terkena suhu tinggi. Kemasan dari daun juga dapat memberikan aroma yang khas, warna yang menarik, serta bentuk yang unik nan artistik.

Masyarakat Garut, Jawa Barat, memanfaatkan daun jambu air yang dapat memberikan warna hijau alami untuk membungkus tape ketan dan nasi jamblang. Daun jati juga digunakan untuk membungkus berbagai jenis makanan yang menghasilkan aroma dan cita rasa khas, sehingga meningkatkan nafsu makan. Daun jati juga dapat menjaga kehangatan makanan karena memiliki daun yang tebal dan kuat. Secara fisik, daun pembungkus bersifat fleksibel dan tidak mudah patah atau retak, serta bersifat tahan air untuk jenis-jenis tertentu.

Kemasan makanan dari daun juga tidak memberikan efek samping terhadap kesehatan, malah menambah nutrisi pada makanan. Sebagai contoh daun pisang yang paling banyak digunakan untuk membungkus berbagai makanan khas Indonesia.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa daun pisang menghasilkan aroma khas dari senyawa polifenol yang bersifat anti-mikroba. Begitu pula dengan daun patat, yang banyak digunakan oleh masyarakat Bogor sebagai pembungkus makanan toge goreng dan daging kurban sebagai alternatif plastik. Selain sebagai pembungkus makanan, secara tradisional masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung memanfaatkan daun simpor (Dillenia suffruticosa) sebagai penangkal binatang buas serta obat tradisional.

Beragam manfaat tanaman, terutama daun sebagai solusi alternatif polusi plastik yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi kesehatan, memberikan gagasan untuk pengembangan bioprospeksi lebih lanjut dari tanaman-tanaman tersebut. Pemanfaatan sumber daya hayati juga harus beriringan dengan upaya konservasi melalui perbanyakan dan budidayanya, sehingga keberadaannya dapat terus lestari di alam. Sebagai penghuni bumi sudah semestinya kita peduli dan turut serta menjaga lingkungan sekitar. Yuk kita coba beralih menggunakan daun dan bahan alami sebagai pengganti plastik sesuai dengan kebutuhan. Mari kita gaungkan gerakan “from plastic to organic”!

*)Peneliti Ahli Muda di Kelompok Riset Bioprospeksi Tumbuhan Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN.

Redaksi Green Indonesia