Rendeu: Lalapan Berkhasiat Dari Cikaniki

Sayuran hutan ini kini kian populer dan dijual di lokapasar. Namanya ‘Rendeu’ (Staurogyne elongata). Tumbuhan ini berpotensi obat, pangan dan dapat dibudidayakan guna meningkatkan perekonomian masyarakat.

LALAPAN, bersama nasi hangat dan sambal, tentu sesuatu yang nikmat dan menyehatkan. Hal ini menjadi salah-satu budaya Masyarakat Sunda. Ragam lalapan yang umum dikenal diantaranya daun poh-pohan, timun, leunca, petai, dan selada.

Tapi tak hanya itu, beberapa masyarakat di sekitar hutan juga mengkonsumsi daun rasamala dan daun rendeu.

Penelitian kolaboratif antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang kini telah bertransformasi menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sejak tahun 2021 lalu berupaya mengungkap potensi keanekaragaman hayati tumbuhan yang hingga kini masih dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan.

Penelitian yang juga menyertakan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Yayasan Botani Tropika Indonesia (Botanika) tersebut mengkaji tentang pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat di sekitar hutan TNGHS.

“Sedikitnya kami mengungkap pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan pemanafaatan tetumbuhan dari lima kampung yang berada di tepi hutan TNGHS, khususnya di dalam enclave Cikaniki.” Demikian tulis Peniwidiyanti, Peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), seperti disampaikan ke Redaksi GI hari ini (Kamis, 25/05).

Kelima kampung tersebut diantaranya Citalahab Sentral, Citalahab Bedeng, Citalahab Kampung, Cilanggar dan Garung. Kelima kampung ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Lezat dan Berkhasiat

Salah-satu hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang dikenal oleh masyarakat di sekitar hutan Cikaniki dengan nama ‘rendeu’. Ternyata tumbuhan ini memiliki tingkat pemanfaatan yang tinggi. Terbukti, masyarakat dari kelima kampung mengenal dan masih memanfaatkan tumbuhan ini.

Rendeu merupakan salah-satu jenis dari suku Acanthaceae dan memiliki nama ilmiah jenis yaitu Staurogyne elongata (Nees) Kuntze.

Rendeu memiliki perawakan berupa herba tahunan yang berukuran tinggi tidak lebih dari 50 cm, daun tunggal, melanset sungsang dan memiliki perbungaan yang indah. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan asli setempat yang memiliki distribusi jenis di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa.

Tumbuhan ini umum dijumpai tumbuh pada area yang ternaungi dengan kondisi lingkungan yang relatif lembab. Rendeu banyak tumbuh di dalam hutan maupun di sekitar pekarangan rumah, sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya dengan mudah.

Secara sederhana, masyarakat dari lima kampung di sekitar hutan Cikaniki memanfaatkan rendeu sebagai salah-satu alternatif pangan untuk dijadikan lalapan.

Daun rendeu muda dikonsumsi secara langsung tanpa pengolahan. Rasa yang diciptakan daun rendeu begitu khas, terlebih bila dimakan bersama dengan nasi hangat, sambal dan ikan asin, tentunya akan meningkatkan selera makan.

Selain itu, air rebusan daun rendeu pun dipercaya oleh masyarakat dari lima kampung ini sebagai tumbuhan obat yaitu mengatasi beberapa keluhan kesehatan seperti penyakit ginjal, liver dan perawatan ibu pasca melahirkan.

Kaya Antioksidan

Berbagai penelitian terkini terkait potensi rendeu ini menunjukkan, bahwa tumbuhan ini memiliki kandungan antioksidan yang membantu meningkatkan kebugaran tubuh dan mencegah penuaan dini, seperti yang telah disampaikan oleh Marsiati dan Patimah (2023).

Selain itu, rebusan daun rendeu pun secara klinis dapat meredakan diare karena mengandung antibakteri (Maulani et al., 2017) yang menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.

Kini, bibit rendeu maupun daun rendeu yang siap dikonsumsi telah banyak dijual di lokapasar (online marketplace) dengan rentang harga yang cukup bervariasi.  Hal ini menunjukkan bahwa rendeu selain memiliki potensi sebagai obat dan pangan alternatif, tumbuhan ini pun dapat dibudidayakan dan dikembangkan dengan bijak dan berkelanjutan agar dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Secara terperinci mengenai tetumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di tepi hutan Cikaniki TNGHS, dapat membaca hasil penelitian kami yang telah diterbitkan di Journal Mountain Science edisi 20, volume 1 dengan judul “Ethnobotany of food, medicinal, construction and household utilities producing plants in Cikaniki, Gunung Halimun Salak National Park, Indonesia”.

Peniwidiyanti, Peneliti di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Redaksi Green Indonesia