Sukawangi: Mengurai Kusut Kasus Tenurial

Peta kawasan hutan bak ‘benteng’ bagi Perhutani, tapi dirasakan menjerat bagi ribuan warga Desa Sukawangi. Pemkab Bogor melalui Kabid Pertanahan DPPKP berjanji menuntaskan permasalahan yang bagaikan benang kusut tersebut.

WARGA Sukawangi kembali meradang. Kemarin, Kamis (25/08) unjuk rasa ke Pemkab Bogor di Cibinong bermaksud akan digelar untuk kedua kalinya. Ratusan warga dari pelosok kampung siap-siap berangkat.

Namun, rencana tersebut urung dilancarkan. Pihak Kecamatan Sukamakmur berhasil mengarahkan warga untuk berkumpul dan pembahasan digelar di Kantor Desa Sukawangi.
Dalam pertemuan itu, Camat Sukamakmur,  Bakri Hasan menjelaskan, bahwa yang menjadi masalah hingga kasus tenurial di puncak dua Bogor berlarut-larut salah-satunya ialah adanya miss komunikasi antara pemerintahan desa dengan masyarakat.

“Padahal apapun perkembangan yang terjadi seharusnya disampaikan ke warga, ungkap Bakri Hasan.
Di hadapan ratusan warga yang mendatangi kantor desa sukawangi, dia menjelaskan bahwa di tingkat ‘atas’ BUMN Perhutani sangat baik dan taat aturan pertanahan yang telah ditentukan. “Masalah sekarang ialah di tingkat bawah (KPH Bogor),” jelasnya. Disamping itu Pemerintah Desa Sukawangi dinilainya kurang pas dalam mengurus permasalahan ini.

Nyaris Ricuh

Sementara itu, Pengurus Yayasan Gema PS, H. Ako yang ikut diundang dalam pertemuan itu memberi penjelasan. Dikatakannya, berlatar belakang Inpres No 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan, maka Perhutanan Sosial menjadi salah-satu solusi.

Diapun mengatakan, bahwa masyarakat di sekitar hutan hidup miskin, karena status lahannya banyak yang tidak beres, seperti halnya di Sukawangi. Untuk itu, menurutnya Perhutanan Sosial  antara Perhutani dengan masyarakat di sekitar hutan perlu dilakukan.

Menurutnya, masyarakat perlu mengikuti proses dulu, dan pihaknya akan memfasilitasi. Salah-satu syarat dalam proses itu ialah ikut serta dalam program PKS (Perhutanan Sosial).

Dia puneyakinkan, bahwa Gema PS adalah lembaga yang ditunjuk dan berdasarkan Kepres. Dan pihaknya merupakan kepanjangan tangan KLHK cq Ditjen Planologi. Ditambahkannya, dengan terbitnya Inpres no 4 Tahun 2022 maka PKS perhutani harus dilakukan dengan peninjauan kembali lahan-lahan masyarakat.

Hal yang disampaikan itu awalnya disambut baik oleh ratusan warga Sukawangi yang hadir. Namun  ujung-ujungnya H. Ako menyampaikan bahwa seluruh lahan di Sukawangi adalah kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani. Untuk itu dia mengajak warga agar ikut dalam program Perhutanan Sosial dan otomatis lahan warga musti di-PKS-kan.

“Kami akan memfasilitasi dan membantu warga yang pada akhirnya nanti akan mendapatkan legalitas kepemilikan lahan,” ungkapnya.

Mendengar paparan itu, Lala Daniati, Pengurus FKWS,  langsung angkat bicara. “Yang bapak sampaikan itu ialah lahan di dalam kawasan hutan Perhutani. Di Sukawangi ini, kami meminta keluarkan atau tetapkan tapal batas lahan perkampungan dengan lahan Perhutani.

Pendapat dari FKWS itu disanggah lagi oleh H. Ako. “De facto saat ini semua lahan di Sukawangi masuk dalam kawasan hutan yang dikelola Perhutani,” katanya.

Kontan, puluhan warga tampak geram mendengar ucapan itu. Bahkan ada yang berbisik agar Pengurus Yayasan Gema PS itu agar diminta keluar ruangan pertemuan untuk menghindari kemarahan warga.

Seperti diketahui, dan sudah beberapa kali diberitakan GI, bahwa pangkal musabab kisruh antara Perhutani dengan warga Sukawangi sejak 2 tahun lalu berawal dari tindakan oknum dalam sosialisasi Perhutanan Sosial dengan  program PKS nya.

Paparan Pengurus Yayasan Gema PS kurang lebih sama, dan bisa kembali memancing amarah warga Sukawangi. “Alhamdulillah akhirnya tanpa diusir dia pulang (meninggalkan acara). Kalau tidak saya kuatir tidak mampu mengendalikan massa yang emosi,” tutur Burhanudin, Ketua FKWS.


BPN Kecolongan?

Pihak BPN Bogor yang hadir dalam pertemuan itu menyatakan, bahwa pihaknya baru mendapatkan peta kawasan hutan tahun 2019. Jadi kalau ada sertifikat yang sudah terlanjur terbit, itu karena pada saat penerbitannya belum ada peta kawasan hutan. Hal ini ditanggapi warga dengan ketidakpuasan. Pihak BPN Bogor pun membela diri. Alasannya, kesalahan peta itu adalah karena ulah oknum kehutanan.

Riuh, membingungkan. Bahkan pihak BPN juga mengaku telah menjadi korban atau sudah kecolongan.

DPPKP Berjanji

Kabid Pertanahan, Dinas Perumahan Pemukiman Kawasan dan Pertanahan (DPPKP) Kabupaten Bogor, Eko Mujiarto, menyatakan bahwa kasus tenurial yang terjadi di Sukawangi memang sulit untuk diselesaikan selama kedua belah pihak tidak saling bersepakat pada sebuah titik temu.

Rakyat merasa lahan dan kampung yang sudah ditempati turun-temurun selama puluhan tahun, sementara Perhutani besekukuh karena wilayah Desa Sukawangi masuk dalam peta kawasan kehutanan dimana BUMN itu diberi hak mengelolanya.

Eko menilai, lokasi pemukiman, kebun rakyat, fasilitas umum dan sebagainya bisa dikeluarkan dari peta kawasan Perhutani. “Nanti akan ada tim penataan batas serta tim Iinventarisasi dan  verifikasi dari PUPR akan turun bersama perangkat desa,” katanya.

Eko Mujiarto (kiri), Bakri Hasan (kanan)

Jadi kesimpulannya; jalan panjang musti harus dilalui oleh warga Sukawangi Puncak Dua Bogor.
“Tanah di Sukawangi sudah ditempati masyarakat puluhan tahun, turun-temurun, sudah punya C-Desa, bayar pajak dan sebagainya. Permasalahannya adalah petanya. Inilah yang harus kita selesaikan,” Keta Eko. Dikatakannya, prosesnya bukan PTSL, tapi mungkin dengan istilah lain, misalnya Redistribusi atau Konsolidasi tanah.

***Riz***


No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *