Muhammad Ridwan: Sektor Kehutanan Sangat Vital Dalam Penurunan Emisi

Empat kegiatan konvensional yang banyak mengakibatkan kehilangan karbon ialah; penebangan, penyaradan, pembuatan jalan utama dan jalan cabang, serta TPn & TPK hutan.

HUTAN Indonesia sangat luas. Seperti diungkapkan Direktur PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), Muhammad Ridwan, bahwa saat ini luasnya mencapai puluhan juta hektar. Dengan luas puluhan juta hektar tersebut, maka sangat beralasan jika sektor kehutanan merupakan target utama dalam upaya penurunan emisi karbon.

Hal tersebut disampaikannya dalam Training Perhitungan Stok Karbon Hutan dan Kebun untuk beberapa konsultan, perusahaan sawit dan perusahaan tambang di Bogor 29 – 30 Juni lalu. Dalam kesempatan itu Ridwan menjelaskan seputar inventarisasi dan perhitungan emisi GRK pada PBPH – HPH, Inventarisasi dan Perhitungan Emisi GRK pada PBPH – HTI, soal hutan konservasi serta hutan lindung, serta teknik inventarisasi dan perhitungan emisi GRK pada perkebunan sawit dan HCS.

Dikatakannya bahwa target penurunan emisi sektor kehutanan dalam NDC pada CM 1 ialah sekitar 17,2% (59 %) dan sekitar 24,17% (58,35%) pada CM 2. Sektor Kehutanan menjadi Prioritas utama penurunan emisi nasional.

Lalu bagaimana jadinya rencana penurunan emisi nasional tanpa sektor kehutanan? “Sektor kehutanan ditargetkan menurunkan emisi 60%,” jelas Direktur PT. CKL, perusahaan yang berbasis ilmu pengetahuan di bidang lingkungan hidup tersebut. Ridwan pun menambahkan bahwa RIL adalah aktivitas langsung pada HPH yang menurunkan emisi.

RIL

Aktivitas RIL dalam produksi PHPL meliputi; penebangan, pembuatan jalan sarad dan penyaradan, pembuatan jalan cabang dan jalan utama, serta pembuatan TPn dan TPK. Selanjutnya Ridwan menjelaskan bahwa baseline RIL adalah kondisi business as usual (BaU) unit manajemen sebelum dilakukan kegiatan RIL-C (Teknik konvensional).

Terkait hal itu, dikatakan perlunya penghitungan stok karbon pada kondisi baseline (Teknik konvensional). “Sebagai acuan, perhitungan stok karbon dapat dilakukan dengan menggunakan SNI 7724 tahun 2019 & IPCC Good Practice Guidance untuk LULUCF 2006,” jelas Ridwan.

Muhammad Ridwan

Dijelaskannya pula, bahwa baseline UM ialah kegiatan produksi teknik konvensional, sementara baseline nasional ialah rata-rata sampel UM pada beberapa pulau sebelum melakukan RIL.

Aksi Mitigasi

RIL/RIL-C adalah aksi mitigasi. Ada 5 perbaikan kondisi areal kerja unit manajemen dalam konteks aksi mitigasi dalam kegiatan RIL-C.

Diantaranya ialah kegiatan ITSP yang berkualitas dan akurat. Dalam hal ini, posisi pohon yang akan ditebang dan tidak ditebang jelas, sehingga tidak terjadi salah tebang untuk menghindari banyaknya limbah pohon dan kerusakan tegakan tinggal. Perencanaan penebangan pun harus menggunakan peta pohon & kegiatan penebangan lebih memperhatikan resiko kerusakan tegakan tinggal dan mengurangilimbah penebangan.

Selanjutnya, perencanaan penyaradan yang berbasis peta jalan sarad, dan pembuatan jalan sarad dilakukan dengan cermat. Dengan cara ini penyaradan kayu dapat dilakukan dengan terarah untuk mengurangi kerusakan tegakan tinggal. Penyaradan dilakukan sesuai dengan trayek jalan sarad yang direncanakan dan dilakukan sesuai dengan teknik RIL, sehingga kehilangan tegakan lebih sedikit dan kerusakan tanah berkurang.

Terkait jalan utama, jalan cabang, TPK & TPn, Ridwan menjelaskan, bahwa perencanaan yang baik dalam pembuatan jalan utama, cabang, TPK dan TPn akan mengurangi kerusakan tegakan.

Dalam pelatihan itu, Ridwan menyebutkan bahwa empat kegiatan konvensional yang banyak mengakibatkan kehilangan karbon ialah; penebangan, penyaradan, pembuatan jalan utama dan jalan cabang, serta TPn & TPK Hutan sering terlalu luas dan banyak jumlahnya.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *