Dr. Fredinan Yulianda: Menyibak Ironi Bangsa Maritim

Mestinya, sebagai bangsa maritim, rakyat Indonesia bisa sejahtera melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. Tapi, ada apa dan  mengapa…?

Dr. Fredinan Yulianda, Dekan FPIK IPB University

 LAUT Indonesia luar biasa. Tak kurang 5,8 juta km2 merupakan luas yang tidak sedikit. Apalagi garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau, baik pulau besar maupun pulau kecil sepanjang 81.000 km.

Perairan pantai atau perairan dangkal merupakan perairan yang subur, sehingga Indonesia memang pantas memiliki sumberdaya laut yang luar biasa. Laut yang luas dan garis pantai yang panjang serta kaya akan sumberdaya perikanan dan mineralnya seharusnya Bangsa Indonesai menjadi bangsa maritim yang sejahtera.

Estimasi potensi sumberdaya ikan Indonesia pada tahun 2022, oleh Komisi Nasional Pengkajian Ikan (Komnas Kajiskan), adalah 12,01 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan lestari sebesar 8,6 juta ton per tahun. Potensi Perikanan Indonesia inipun diyakini telah mengalami penurunan dalam kurun waktu 20 tahun belakangan. Penyebabnya ada beberapa hal.

Sedangkan sumberdaya mineral yang terkandung di dalamnya tak kalah besar. Di laut terdapat minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monasit dan zirkon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, kromit, dan masih banyak lagi yang lainnya. Pertanyaannya; “Mengapa rakyat Indonesia tidak sejahtera?”

Keberpihakan pada Nelayan

Menurut Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB Uiniversity, Dr. Fredinan Yulianda, ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia tidak mampu mensejahterakan rakyatnya, khususnya rakyat pesisir.

Pertama, kita tidak berhasil mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan. Anda bisa check ke tempat pendaratan ikan atau pasar. Ukuran ikan semakin kecil. Artinya populasi ikan semakin berkurang, sehingga yang tertangkap hanyalah ikan yang belum layak untuk ditangkap,” ungkap Fredinan.

Dilanjutkannya, yang kedua, pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan laut sebagai faktor penyebab penurunan populasi dan biodiversitas ikan. Faktor pencemaran ditimbulkan oleh sampah terutama sampah plastik, buangan air limbah industri, limbah atau tumpahan minyak, dan limbah domestik seperti deterjen dan pestisida.

Yang ketiga, degradasi ekosistem pesisir seperti pantai, mangrove, terumbu karang dan lamun. Kerusakan ekosistem yang diperlihatkan dengan berkurangnya luas habitat pantai dan ekosistem karena konversi lahan atau reklamasi.

Dekan FPIK IPB itu menjelaskan, saat ini –seperti trend pemerintah daerah melakukan reklamasi pantai dengan alasan kebutuhan lahan. Padahal, kehilangan pantai dan ekosistem pesisir ini menyebabkan hilangnya daerah pemijahan dan asuhan ikan. Dampaknya, fungsi suplai anakan ikan (spill over) ke laut berkurang.

Selanjutnya, yang keempat, sistem kelembagaan dan sistem pasar yang tidak berpihak kepada nelayan-nelayan kecil.

Untuk itu, menurutnya, perlu ada kebijakan yang kuat dan proporsional, serta adanya pendampingan pemerintah/ pemerintah daerah yang berpihak terhadap nelayan kecil.  Baik yang terkait akses penangkapan, serta harga dan pasar. “Nelayan hendaknya diposisikan bukan sebagai kompetitor pemanfaat komoditi perikanan, tetapi sebagai penerima subsidi dan layanan dari pemerintah,” tegas Fredinan.

Faktor-faktor tersebut secara komprehensif dan kumulatif mempengaruhi kelestarian sumberdaya ikan dan produksi perikanan nasional.

Benturan Kepentingan

Lebih jauh Fredinan mengungkapkan, bahwa potret perikanan Indonesia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1) sumberdaya perikanan dan lingkungan, dan (2) kebijakan pemanfaatan perikanan dan kawasan.

Sumberdaya perikanan menunjukkan penurunan populasi dan keanekaragaman jenis yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh semakin memburuknya lingkungan secara umum sehingga daya dukung perikanan mengalami penurunan. Sementara kebutuhan komoditi perikanan meningkat seiring dengan peningkatan populasi manusia.

Hal yang tidak kalah penting, menurutnya, adalah pada tatanan tata kelola perikanan yang ditentukan bukan oleh nelayan, tetapi sebaliknya, dikendalikan oleh para penguasa dalam membuat kebijakan, pelaksana kebijakan, pembuat pasar, penentu harga, serta pengendali aliran produksi. Kelompok penguasa ini terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha besar, pelaku usaha dari unsur pemerintah pusat dan daerah yang umumnya secara kolektif belum menyentuh kepentingan nelayan.

Benturan kepentingan dengan kelompok penguasa yang tersebut seringkali menimbulkan marjinalisasi kepentingan nelayan. Mengapa tidak, karena nelayan memiliki daya tawar yang paling lemah dan tidak mampu bersaing dengan pemanfaat komoditi perikanan lainnya.

Fredinan menilai, selama ini kebijakan eksternal perikanan terkait pemanfaatan kawasan pesisir dan laut, serta pangaturan dampak lingkungan dan pembuangan limbah ke perairan, seringkali merugikan kondisi dan kualitas perairan. “Produk-produk kebijakan eksternal perikanan memunculkan kebijakan reklamasi pantai, tata ruang berbasis industri dan kepentingan, pembuangan limbah yang tidak terkontrol, pengaturan ekspor-impor komoditi perikanan yang semuanya membebani keseimbangan dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan,” jelasnya.

Dia pun mengakui, bahwa memang tidak mudah mensejahterakan nelayan atau masyarakat pesisir Indonesia bila dilihat dari multi faktor yang perlu dibenahi. Namun demikian, hendaknya ini menjadi komitmen bangsa maritim Indonesia untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan Indonesia.

Dengan demikian perlu semangat dan daya juang dari para pelaku multi sector, baik dari pemerintah sebagai penguasa maupun pengusaha dalam mewujudkan integritas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis ekonomi rakyat.

Disamping itu, pembuatan kebijakan terkait hal ini perlu didukung oleh para peneliti, akademisi, dan masyarakat sebagai penyeimbang  dalam pertimbangan kepentingan yang proporsional dan berpihak kepada masyarakat. Sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa maritim dengan rakyat yang sejahtera melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *