Harga beberapa sayuran ‘terjun bebas’ ditengah musim kemarau yang menghadang usahatani di kawasan Puncak Dua Bogor. Petani desa pangan di sisi ibukota itu tak berdaya, Dinas Pertanian dimana?
Deraan Covid-19 di republik ini belum usai. Wabah dari Cina itu bak amuk naga pada sejumlah kota di Indonesia. Bahkan kibasan ekornya saja, pun berefek ganda, hingga terasa sampai ke pelosok desa.
Kini, akhirnya sektor agribisnis dan masyarakat desa juga terkena imbasnya. Akibat lesunya permintaan pasar komoditas pangan, petani sayuran pun mulai ‘terkapar’. Lemas tak berdaya.
Sebuah sentra sayuran yang tak jauh dari ibukota, dimana selama ini unggul dari sisi persaingan lantaran jarak (distribusi) ke pasar induk cukup dekat, kini tak luput dari dampak corona.
Yang dimaksud adalah sentra hortikultura kawasan Puncak Dua – Bogor. Meski dapat dibilang zona hijau (bebas covid), namun angin dari ‘kibasan ekor naga Covid-19’ telah berdampak hancurnya harga komoditas di tingkat petani.
“Pokoknya sekarang ini harga sayuran gak ada yang benar,” kata Dadang, petani muda di Kampung Arca – Sukawangi, Puncak Dua, Bogor.
Banyak petani membiarkan tanamannya, meski sudah saatnya dipasarkan. Mereka tidak mau panen dan tak hirau membusuk di lahan. Salah-satunya ialah Mang Ojak, yang beberapa waktu lalu batal panen pakcoy lantaran harganya oleh bandar hanya ditawar Rp 300,- per kilonya.
“Mending saya tebas dan dijadikan kompos di kebun,” keluhnya. Pasalnya, jika dipanen dan diangkut ke gudang bandar, malah nombok dari segi ongkos tenaga panen dan biaya angkut. Belum lagi jika dihitung biaya produksi, mulai dari olah lahan dan perawatan tanaman.
Yang tak kalah prihatin lagi adalah petani wortel. Komoditas utama sentra agribisnis di jalur Puncak Dua tersebut bagaikan ‘terjun bebas’ dan tak kunjung pulih sejak beberapa bulan lalu. “Jika tetap dipanen, maka modalpun tidak kembali,” tutur Deni, pemilik kebun wortel yang juga seorang driver di Jakarta yang kini sedang ‘dirumahkan’ di Kampung Arca – Sukawangi.
Beberapa komoditas sayuran lain juga bernasib sama. Sebut saja brokoli dan cabe keriting. Dua komoditas yang selama ini bertengger di tingkat atas (lumayan mahal) tersebut, turut serta lunglai. Harga brokoli di tingkat petani hanya sekitar Rp 3000,- hingga Rp 6000,- per kilogram, dan cabe keriting berkisar Rp 10.000,- hingga Rp 13.000,- per kilogram. Padahal, seperti diketahui, bahwa biaya produksi komoditas tersebut terbilang tinggi.
Dinas Pertanian Sepi
Tampaknya pihak terkait dalam pembangunan pertanian (pemerintah –red), dalam hal ini Dinas Pertanian, benar-benar seperti ter-lockdown. Apakah karena terimbas corona?
“Dari dulu (di masa normal) juga seperti itu. Adem-adem saja,” tutur sejumlah petani di Sukawangi.
Padahal, menurut pengamatan GI, kemandirian agribisnis masyarakat di daerah ini pantas diacungi jempol. Sebagai desa penghasil pangan (khususnya hortikultura) yang cukup terkemuka di Kabupaten Bogor, masing-masing petani bergerak sendiri, termasuk dalam membangun sarana dan prasarana usaha tani. Satu diantaranya ialah dalam hal pengairan kebun sayuran. Petani membangun sendiri jaringan irigasi pipa dari sumber-sumber air di lereng pegunungan. Tentu saja, demi kelangsungan usaha, maka para warga Sukawangi pun harus menjaga kelestarian hutan agar air tetap tersedia. Meski di musim kemarau seperti sekarang ini.
Pasca Panen di Desa, Mungkinkah?
Seperti diketahui, wortel merupakan produk utama daerah ini. Kini harganya hancur. Lalu timbul pertanyaan; mungkinkah komoditas tersebut dapat diselamatkan melalui pengolahan? Misalnya dijadikan tepung wortel dan sebagainya. Lantas siapa dan bagaimana pengelolaannya?
Beberapa petani mulai bertanya tentang hal itu setelah melihat di beberapa situs jual-beli online (tokopedia dll) harga tepung wortel cukup menggiurkan.
***Riz***
No comment