Karena harga tinggi – jahe muda di kebun pun marak pencurian. Untuk mengantisipasi hal yang merugikan tersebut, petani jahe di Kampung Arca Puncak Dua – Bogor pun melakukan ronda.
ISU ini merebak di tengah dinginnya udara di kawasan Sukawangi – Puncak Dua Bogor, terutama di Kampung Arca dan sekitarnya akhir-akhir ini. Maling jahe beraksi?
Lalu para petani pun resah. Mengapa tidak. Berbeda dengan petani di komoditas lain, usaha tani jahe membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan biaya yang lebih besar dibanding kegiatan budidaya lainnya di kawasan Puncak Dua.
Seperti dikatakan oleh Nden Supendi (47) warga Kampung Arca – Sukawangi, bahwa di daerah tersebut kegiatan budaya jahe menggunakan lahan yang relatif lebih luas (minimal 0,5 Ha). Belum lagi biaya bibit, pupuk kandang serta upah tenaga kerja. “Mungkin itu sebabnya hanya sebagian kecil petani di Sukawangi yang mau bertanam jehe, meski tahu nilainya jauh lebih tinggi dibanding sayuran lain,” ungkapnya.
Jaga Malam
“Maneh punya lampu sorot teu, siapa yang jaga malam di kebun?”. Demikian tanya seorang petani di Kampung Arga – Sukawangi, via Hp yang sempat didengar GI beberapa waktu lalu.
Memang, benar, sebagian petani jahe sejak beberapa waktu belakangan ini telah melakukan antisipasi terkait isu muerebaknya pencurian umbi jahe di kebun.
“Yang diambil itu jahe muda, karena lebih mudah dicabut dan didapatkan dalam waktu singkat. Kalau jahe yang sudah tua akan lebih sulit. Karena selain rumpunnya sudah tidak ada, tanah pun sudah sedikit padat dan perlu bantuan alat (pacul, garpu dan sebagainya),” jelas Supendi.
“kalau jahe muda cukup mencabut rumpunnya di tengah kegelapan malam. Kalau satu karung saja 40 kilo, artinya dikalikan dengan harga (10 ribu per kilo), maka dalam sekejap didapatkan Rp 400.000,- oleh si maling,” tambahnya.
***Riz***