50 Tahun FKBSI (Bagian II)
Bergulat Dengan Problem Klasik
Oleh :
Dr. Rahmat Shah
Mengelola LK bukan perkara mudah. Tanpa kendala apalagi bebas masalah. Banyak persyaratan yang wajib dipenuhi sebagaimana diatur dalam peraturan. Untuk dapat mengelola sebuah LK umum, harus memiliki izin yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Basisnya ialah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.31/Menhut-II/2012.
Perijinan tentulah sebuah keniscayaan. Disinilah problema klasik utama yang sering dihadapi LK. Seyogya
nya proses perijinan dibuat sederhana. Tidak sulit. Apalagi rumit. Sebagai bagian dari komponen asset NKRI yang turut berperan aktif dalam membantu upaya pelestarian kehati, proses perijinan LK semestinya harus lebih disederhanakan. Ditengah era globalisasi dengan ketatnya kompetisi antar LK, Pemerintah RI cq. KLHK diharapkan lebih berpihak pada LK domestik. Agar memiliki daya saing di tingkat kompetisi yang lebih tinggi.
Problema klasik kedua adalah masih buruknya persepsi dan stigma negatif LK di mata publik. Faktanya, sebuah LK resmi harus mengantongi izin untuk dapat mengelola satwa.Khususnya satwa yang dilindungi. Dengan dasar perijinan ini masyarakat diharapkan akan lebih kritis dan dewasa dalam menyikapi berbagai berita negatip. Terutama atas keberadaan dan kinerja LK yang ada.
Idealnya dilakukan crosscheck terhadap legalitas izin dan kepemilikan satwa, sebelum mendiskreditkan LK secara umum. Hal tersebut penting untuk tidak menggiring persepsi publik yang negatif terhadap keberadaan LK. Betapa dampak dari “bad news”akan sangat besar terhadap kinerja sebuah LK. Terlebih di era digitalisasi informasi dewasa ini
Harus diakui, masih ada LK di Indoensia yang memiliki kinerja buruk. Bekerja belum sepenuhnya berdasarkan etika dan prinsip-prinsip kesejahteraan satwa. Persoalannya, bukan bermaksud lempar batu sembunyi tangan. Sebagian LK berkinerja buruk diantaranya adalah LK “pelat merah”. Karena pelat merah maka secara organisatoris hubungan kewenangan denan PKBSI relatif berbeda. Ini menjadi sebuah situasi dilematis.
Lk pelat merah biasanya terkendala dengan budget yang terbatas dan kurangnya profesionalisme. Pada umumnya pengelola LK plat merah adalah kebun binatang peninggalan di era pemerintah Kolonial Belanda. Banyak ditemukan di kota-kota besar -KB Surabaya, KB Bandung, KB Ragunan dan sebagainya.- Disamping bangunannya sudah berusia tua, Pimpinan KB umumnya birokrat. Tidak selalu memiliki passionndalam menekuni pekerjaan dibidang konservasi dan keanekaragaman hayati.
Konsekuensinya, pejabat yang notabene adalah birokrat memiliki mindset target mendapatkan penghasilan sebesar besarnya. Sesuai tuntutan pihak legislatif maupun eksekutif. Sebuah situasi kontradiktif. Target pendapatan maksimal. Namun kurang kepedulian akan kesejahteraan satwa. Disamping itu kucuran investasi pembangunan kandang pun kurang.
Tentu tidak semua LK pelat merah memiliki problema anggaran. Beberapa justru memperoleh kucuran dana (disubsidi) sangat besar. Sehingga lebih profesional disbanding LK pelat merah lainnya. Namun memiliki kelemahan karena pengelola LK tidak perlu bekerja keras. Disamping kurang memberi pelayanan maksimal karena LK dianggap hiburan rakyat. Sarana satwa pun kurang berorientasi pada prinsip kesejahteraan satwa.
Persoalannya, masyarakat tidak peduli. Juga tidak cukup memiliki naluri. Ibarat pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Bahwa, tekanan atas praktek yang berada dibawah standar etika dan diluar prinsip-prinsip kesejahteraan satwa oleh satu dua LK menjadi dasar generalisasi kinerja seluruh LK. Sungguh ironi. Tentulah hal itu sangat tidak fair. Sebuah sesat pikir.Secara perlahan namun pasti akan merugikan dan meniadakan kinerja positip yang sudah diraih.
Karena itu PKBSI memandang bahwa peran LSM konservasi dan pemerhati Kehati juga sangat besar dalam membangun atmosfer konservasi yang konstruktif. Harus terjalin rasa percaya dan saling pengertian. Sebagai mitra, LSM dibutuhkan untuk terwujudnya sebuah masyarakat madani. Berlakunya mekanisme check and balances. Namun tidak boleh pula LSM mendikte dan secara sepihak memaksakan kehendak.Yang justru bertentangan dengan kaidah-kaidah etika kehati dan prinsi-prinsip konservasi. Untuk itu, semua pihak harus menghargai kemitraan dalam kesetaraan. Sesuai dengan hak dan kewajiban masing masing.
GSMP
Satu lagi, kendala yang masih menjadi pekerjaan rumah PKBSI adalah mengupayakan penyederhanaan prosedur dan perijinan tukar menukar satwa. Dalam konteks ini, PKBSI memiliki program Global Species Management Plans (GSMP). Sebuah konsorsium kegiatan pengelolaan satwa dalam LK dengan tujuan untuk pengelolaan populasi satwa ek situ dengan tujuan meningkatkan nilai genetik individu yang ada di LK. Baik pada tingkat nasional dan internasional.
Hal ini dapat tercapai apabila pengelolaan perkawinan (baca :perkembangbiakan) satwa dilakukan secara terkontrol, terpadu dan bersama-sama antara semua LK. Anggota konsorsium terdiri atas organisasi LK di Amerika Utara, Eropa, Australia & Jepang bekerjasama dengan PKBSI dan KLHK. Jenis satwa Indonesia yang masuk dalam program GSMP adalah Harimau Sumatera ,Anoa, Banteng, dan Babirusa.
Dalam pengelolaan ini, perpindahan satwa dari satu LK ke LK lainnya harus memperoleh rekomendasi.Tujuannya untuk menjaga, bahkan meningkatkan keragaman genetik populasi satwa yang masuk dalam program GMSP-PKBSI yang ada di LK melalui analisis hubungan kekerabatan individu. Menghindari terjadinya perkawinan sedarah alias inbreeding. Satwa yang dipindahkan adalah individu dengan nilai genetik yang tinggi, sehingga keturunan yang akan dihasilkan dengan pasangan satwa betina di tempat barunya akan tetap mempunyai nilai genetik yang tinggi pula.
Sayangnya proses administrasi pengajuan perpindahan satwa kepada Dirjen KSDAE memerlukan waktu yang cukup panjang. Jika mengikuti Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.63/Menhut-II/2013, berbagai dokumen perlu disiapkan dan satwa yang akan dipindahkan perlu diperiksa kesehatannya termasuk juga kesiapan kandang dan fasilitas lainnya di LK yang akan menerima satwa.
Problema yang dihadapi adalah bahwa jangka waktu rekomendasi yang diberikan dengan waktu persiapan seringkali tidak sesuai. Konkritnya, jangka waktu rekomendasi yang hanya berlangsung dua minggu, tidak bisa mengejar persiapan yang mencapai periode waktu yang lebih panjang. Bisa berbulan – bulan. Hal ini menjadikan proses pertukaran satwa menjadi terhambat.
Untuk itu, diharapkan Dirjen KSDAE beserta jajarannya, termasuk UPT Ditjen KSDAE di daerah (BKSDA) bisa lebih memahami persoalan yang dihadapi. Pada akhirnya, penyederhanaan aturan akan menjadi jawaban atas problema yang ada ini.
Perlu Didukung
Mengacu instruksi Presiden Jokowi, kunci keberhasilan kinerja pembangunan nasional terletak pada ketersediaan SDM unggul. Analog dengan hal tersebut, demikian pula dengan kinerja Kebun Binatang. Bahwa untuk mencapai cita-cita sebagaimana dimaksud, mutlak diperlukan sebuah wadah tunggal organisasi profesi yang sanggup serta mampu menghimpun segenap potensi. Sekaligus memperjuangkan kepentingan seluruh lembaga perkebunbinatangan di Indonesia.
Melalui peran PKBSI sebagai media informasi, komunikasi, koordinasi, konsultasi dan kolaborasi dengan Pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi dan keanekaragaman hayati atau sejenisnya.Baik di dalam maupun luar negeri.
Lima dekade PKBSI berkarya membangun kelembagaan seraya memperjuangkan kemajuan seluruh LK anggotanya. Kiranya kerja keras dan kerja nyata PKBSI tersebut akan terus didukung pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Demi terwujudnya pengelolaan Kebun Binatang Indonesia yang efisien dan berdaya saing tinggi di kancah persaingan global. Happy anniversary PKBSI. Salam Lestari*****
*)Ketua UmumPerhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia
No comment