Virni B Arifanti: Pentingnya Restorasi Mangrove

Pengelolaan hutan harus mampu memerangi perubahan iklim, dan berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDG). Salah-satunya ialah hutan mangrove.

Mangrove Indonesia cukup luas, jumlahnya mencakup 20% dari total mangrove di muka bumi ini. Potensinya pun sangat besar jika Indonesia mampu menjaga dan memanfaatkannya secara benar. Demikian salah-satu isu menarik yang meruap ke permukaan dalam seminar di sela INAFOR EXPO 2019 yang digelar di IPB International Convention Center, Botani Square, Bogor hari ini (28 Agustus 2019).

Hal itu dituturkan Virni Budi Arifanti, Ph.D, Peneliti Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang menjadi salah-seorang pembicara di acara tersebut. “Indonesia memiliki tutupan mangrove terbesar di dunia, namun Indonesia juga mengalami laju deforestasi mangrove tertinggi di dunia. Ini sangat menyedihkan,” kata Virni.

Ancaman dan Solusi

Saat ini ancaman terhadap penurunan keanekaragaman hayati kian menghantui, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Untuk itu, seperti disebutkan dalam Siaran Pers INAFOR, pengelolaan hutan harus berubah untuk memberikan dukungan kuat pada konservasi, penilaian dan pengelolaan keanekaragaman hayati. Yang tak kalah pentingnya lagi, pengelolaan hutan harus mampu memerangi perubahan iklim, dan berkontribusi pada tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/ SDG).

Untuk itulah, melalui INAFOR Expo 2019 ini, para pakar terkait membahas berbagai penelitian terbaru serta pengembangan dan karya inovasi yang berfokus pada pengelolaan hutan tropis, keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dan fungsi ekosistem.

Menurut Dr. Kirsfianti L. Ginoga, Kepala P3H BLI KLHK, untuk menjawab berbagai tantangan itu, cukup banyak  kegiatan penelitian yang dapat dilakukan. Diantaranya tentang agroforestri, paludikultur, agro-silvofishery dalam perubahan ekosistem, pemantauan keanekaragam hayati dan sebagainya.

Serentetan pakar menjadi pembicara pada hajatan tersebut. Tentunya, seperti dikatakan Kirsfianti, diharapkan pemikiran pakar dan berbagai hasil  penelitian tersebut dapat mengurangi ketidakpastian dan melayani inisiatif kebijakan serta manajemen dengan lebih baik, untuk komitmen global.

Blue Carbon

Mangrove, seperti diketahui, menyimpan stok karbon kedua terbesar setelah lahan gambut. Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar ton karbon – sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir di seluruh dunia.

Namun menurut Virni, laju deforestasi mangrove Indonesia sangat cepat. Penyebab utamanya adalah massifnya pembuatan tambak udang. Seperti kasus di Delta Mahakam, Kalimantan Timur misalnya. Untuk itu, menurut Virni, diperlukan untuk cukup panjang dalam memulihkan keseluruhan mangrove yang rusak.

Pernyataan Virni tersebut cukup beralasan. Mengapa tidak?

Mangrove terbukti memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup, terutama di kawasan pantai. Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove yaitu untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang air laut, termasuk tsunami.

Dewasa ini, sekitar 28 wilayah di Indonesia rawan terkena tsunami karena hutan bakau sudah banyak berpindah fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.

 ***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *