Organisasi agama di tingkat global menempatkan memposisikan masayarkat adat sebagai protector, terutama dalam konteks hutan hujan tropis.
Masihkah manusia tidak menginsyafi, bahwa menjaga alam dan lingkungan itu sebuah perintah? Di Islam tidak kurang-kurangnya hal ini diperingatkan. Membunuh binatang dan merusak tanaman itu dilarang. Di Ayat Al-quran dijelaskan bahwa kerusakan alam disebabkan kelakuan tangan manusia.
“Lalu masuklah yang namanya anthropomorphism, seolah-olah hanya manusia yang diagungkan karena sebagai khalifah, padahal khalifah juga diwajibkan menjaga alam semesta. Kadang juga karena situasi kemiskinan absolute begitu luas, apa yang bisa ditebang dia hancurkan, yang penting tidak kelaparan. Maka ingatan tentang teks bisa diubah,” jelas Dr. Yudi Latif.
Hal tersebut meruap ke permukaan saat Diskusi Pojok Iklim di Jakarta 24 Juli lalu. Dikatakan, bahwa untuk menciptakan masyarakat agama yang peduli lingkungan, diperlukan penyegaran ulang doktrin relasi hanya tuhan dan manusia, sementara lingkungan jadi beyond imagination.
‘Hal ini jarang dibahas di dakwah-dakwah. Padahal relasi dengan alam juga menumbuhkan iklim yang kondusif, untuk relasi kemanusiaan kita yang lebih sensitif,” tukas Yudi.
Padahal Islam harus berdamai dengan bencana dengan melahirkan teologi bencana dan lingkungan, karena indonesia ada di lempeng vulkanik dan cincin api bencana. Peradaban purba Mesir purba romawi athena inka maya berada di lempengan tektonik. Tipografi lebih variatif. Kalau tidak punya cara untuk menjaga relasi dengan alam, maka piramida perubahan manusia akan mengintai.
Membabat ekosistem artinya mengancam kemanusiaan. Nilai-nilai dimensi lingkungan harus masuk ke dalam sistem pembangunan kita.
Menjaga dengan Ritual
Sementara dari kalangan masyarakat adat menilai, bahwa krisis dapat diatasi kalau masayarkat adat ditempatkan pada tempatnya. Relasinya dengan agama, dimana masyarakat adat memiliki hubungan yang kental dengan dengan leluhur. Mereka menjaga alam untuk menghormati leluhurnya. Masyarakat adat menjaga leluhur dengan ritual.
“Sayangnya agama global yang kurang senang dengan ritual tersebut memutus masyarakat adat dengan leluhur. Padahal ritual inilah yang merawat masyarakat adat dengan Tuhannya, dengan lingkungannya. Pencipta menurut mereka adalah pencipta alam semesta,” papar Ketua Masyaraat Adat, Abdon Nababan.
Di peta wilayah adat banyak tempat penting yang menjadi tempat-tempat sakral. Tempat-tempat sakral ini dirawat dengan ritual-ritual. Hal tsb sedang mengalami ancaman yang luar biasa. Jika tempat sakral tsb hilang, tempat hidrologis dan penjagaan ekosistem akan hilang.
Dalam Interfaith rainforest initiative yang diinisiasikan di Norway, organisasi agama di tingkat global menempatkan memposisikan masayarkat adat sebagai protector, terutama dalam konteks hutan hujan tropis.
Mulyadi, salah-seorang peserta Diskusi dari Muhammadiyah, berpendapat, adanya masyarakat adat menyebabkan eksistensi lingkungan terjaga . “Tapi kini kita berlomba pada suatu pembangunan, yang pada akhirnya membuat masayarkat adat tersisih dari lingkungan,” ungkapnya. Mulyadi pun menjelaskan bahwa saat ini Muhammadiyah sedang menerbitkan teologi lingkungan.
Pada bagian terakhir Diskusi Pojok Iklim, Moderator Chalid Muhamad, menyimpulkan bahwa nilai-nilai keagamaan sangat luar biasa dalam pelestarian lingkungan. Tapi jika dilihat antara laju kerusakan, malah sebaliknya. Kita bisa melihat ada penggerusan dari nilai-nilai agama yang tercermin dari perilaku manusia, terlihatnya seperti ada upaya sistematis untuk penghancuran.
***Fit, Riz***
No comment