Dengan adanya Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 terkait nilai ekonomi karbon, tidak ada alasan lagi bagi perusahaan sawit untuk tidak melakukan penurunan emisi GRK. Persoalannya adalah; perkebunan sawit belum memiliki baseline terhadap penurunan emisi.
PERAN perkebunan sawit sangat penting dalam menyikapi perubahan iklim. Mengapa? Karena jumlahnya yang sangat luas. Data Kementerian Pertanian terbaru menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15,98 juta hektar pada tahun 2021. Suatu jumlah yang tentunya sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim.
Dikatakan oleh Muhammad Ridwan, praktisi karbon dan sekaligus Direktur PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), sebuah perusahaan jasa teknologi penghitungan karbon, penurunan emisi, kehutanan dan lingkungan hidup, bahwa dalam dokumen NDC dijelaskan rencana penurunan emisi tahun 2030 sektior kehutanan dan pertanian, termasuk perkebunan, mencapai lebih 17,2% dari 29% rencana penurunan emisi nasional.
Dengan demkian, dari luas areal seperti disebutkan tadi, perkebunan kelapa sawit sangat berperan penting dalam penurunan emisi. Persoalannya adalah; perkebunan sawit belum memiliki baseline terhadap penurunan emisi.
“Orang banyak menduga, bahwa baseline untuk sawit adalah kondisi sebelum menjadi perkebunan sawit alias masih dalam bentuk hutan, lahan kosong dan sebagainya. Padahal kondisi sebelum dibuka perkebunan sawit, itu disebut ‘referensi emisi’, bukan baseline,” tegas Ridwan.
Baseline itu Apa?
Dijelaskannya, bahwa baseline adalah kondisi ketika tidak ada inovasi atau intervensi atau aktifitas baru, sehingga emisi pada tahun yang akan datang tetap seperti bisnis biasanya atau dalam dukomen NDC hal ini disebut BAU (business as usual).
“Baseline adalah gabungan dari faktor emisi, referensi emisi dan proyeksi emisi,” tambahnya.
Sejauh ini perusahaan sawit dapat dikatakan belum melakukan perhitungan emisi GRK dalam lingkup pertusahaan secara baik dan benar. Seharusnya perusahaan melakukan perhitungan baseline, serta menentukan aksi mitigasi yang stok karbonnya pada tahun yang akan datang lebih tinggi dari pada stok karbon baseline.
Lebih jauh Direktur CKL itu menjelaskan, bahwa perusahaan sawit dapat berpartisipasi dalam menurunkan emisi apabila aksi mitigasi yang dilakukan memiliki nilai lebih tinggi penyerapan CO2 nya dibanding penyerapan emisi CO2e baseline.
“Perusahaan-perusahan ini sangat berpotensi berpatisipasi, karena mereka memiliki SDM dan keuangan yang dapat membuat dokumen penurunan emisi sesuai dengan perintah dari Peraturan Presiden No 98 Tahun 2021 terkait nilai ekonomi karbon,” ungkap Ridwan.
Ditegaskannya, tidak ada alasan lagi bagi perusahaan sawit untuk tidak melakukan perhitungan emisi GRK pada lingkup perusahaan.
Masih Jauh
Memang, selama ini perusahaan sawit sudah memiliki dokumen Hight Carbon Stok (HCS). Hal ini, menurutnya, dalam konteks penurunan emisi baru melakukan tahap satu yang setara dengan perhitungan Faktor Emisi.
Kemudian perusahaan sawit mermiliki dokumen Land Use Change Analisys (LUCA). Lagi-lagi, Ridwan menilai itu jauh dari perhitungan penurunan emisi. “Ini baru setara dengan melakukan perhitungan Referensi Emisi. Tapi LUCA belum sepenuhnya sama dengan dengan Referensi Emisi, karena LUCA belum mengaitkan perubahan tutupan lahan dengan Faktor Emisi,” katanya kepada GI di Bogor tadi siang (Selasa, 16/08).
Ditambahkannya bahwa setelah LUCA, mestinya perlu dihitung proyeksi emisi pada tahun yang akan datang, misalnya tahun 2030, 2040 dan sebagainya. Baru setelah itu, maka perusahaan bisa (perlu) melakukan perencanaan aksi mitigasi.
Perkebunan Rakyat
Menanggapi soal perkebunan kelapa sawit rakyat (non perusahaan), dimana jumlahnya kecil-kecil dan tersebar di berbagai tempat, sebaiknya perusahaan besar kelapa sawit (PKS) terdekat ikut membantu membuat dokumen penurunan emisi. “Perlu kepedulian dan kerjasama dengan masyarakat untuk membuat dokumen penurunan emisi dalam sebuah kawasan,” ungkap Ridwan.
Dikatakannya, PT. CKL bersedia membantu dan bekerjasama dengan perusahaan untuk membuat dokumen penurunan emisi GRK yang sesuai dengan peraturan nasional dan internasional. “Kita akan kaitkan mulai dari perhitungan faktor emisi, referensi emisi, proyeksi emisi, aksi mitigasi dan perhitungan potensi penurunan emisi yang sesuai dengan peraturan,” tuturnya..
***Riz***
No comment