Neny Indriyana; Mengapa Harus Sertifikasi…?

Pemenuhan terhadap P&C sustainability pada sektor sawit atau lainnya adalah suatu perjalanan yang membutuhkan komitmen. Jangan jadikan sertifikat sebagai terminal terakhir, karena persyaratan sustainability itu cenderung dinamis

Hingga kini terdapat tiga sistem sertifikasi terkait isu kelapa sawit berkelanjutan, yaitu RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan ISCC (International Sustainability and Carbon Certification).

Menurut Neny Indriyana, Direktur Greenera Consulting, Untuk RSPO saja, saat ini tidak kurang dari 2,548 juta Ha areal perkebunan kelapa sawit sudah disertifikasi dengan total produksi CSPO mencapai 11,83 juta ton (sekitar 19% dari minyak sawit dunia) dan CSPK 2,686 juta ton.

Lebih jauh Neny memaparkan, bahwa luasan perkebunan sawit di Indonesia yang sudah mendapat sertifikat RSPO mencapai 1,737 juta ha (68% dari total areal sawit yang disertifikasi) walaupun secara keanggotaan, perusahaan di Indonesia yang masuk menjadi anggota RSPO boleh dikatakan sedikit (di luar 10 besar).

Untuk ISPO, pada September 2017, terdapat paling tidak 306 perusahaan yang mendapatkan sertifikat, yang meliputi areal tanam seluas 1,882 juta ha dengan produksi CPO sekitar 8,147 juta ton.

Sedangkan untuk ISCC, tidak kurang dari 205 perusahaan yang mendapatkan sertifikat (dengan berbagai lingkup). Apabila bersandarkan pada Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017 yang dikeluarkan oleh Ditjenbun, luas kelapa sawit di Indonesia diestimasikan sebesar 12,307 Ha, maka luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sudah disertifikasi RSPO mencapai 14% sedangkan untuk ISPO mencapai 15%.

Dinamis

Apa saja tantangan dalam melakukan sertifikasi sustainability ? “Menurut kami, pemenuhan terhadap P&C sustainability pada sektor sawit atau lainnya adalah suatu perjalanan yang membutuhkan komitmen, dimana tantangan dan waktu antara suatu perusahaan satu dan lainnya, atau petani satu dan lainnya bisa berbeda bisa sama,” ungkap Neny.

Neny Indriyana

Jadi, kalau memang di saat awal kegiatan operasional, prinsip-prinsip sustainability sudah dilaksanakan maka ke depannya akan lebih mudah dan lebih singkat. “Jangan jadikan sertifikat adalah terminal terakhir dari perjalanan sustainability karena persyaratan sustainability itu cenderung dinamis,” tegas Direktur Greenera Consulting tersebut.

Lihat saja di RSPO. Untuk pembukaan baru, sejak 2005 harus dilakukan HCV assessment. Kemudian di 2014 mulai diterapkan kompensasi dan remediasi bagi areal yang dibuka tanpa dilakukan HCV assessment terlebih dulu, dengan berdasarkan hasil LUCA (Landuse Change Analysis). Sebelum 2015, assessment HCV dilakukan oleh assessor yang disetujui oleh RSPO, dan sejak 2015, proses HCV assessment ditangani oleh HCV-RN, baik penentuan kriteria assessornya, peer review maupun quality reviewnya.

Pada ISCC, ‘cut off date Januari 2008’ juga berpengaruh terhadap jumlah perusahaan atau petani yang bisa mendapatkan sertifikasi. “Karena itu, perusahaan atau petani juga perlu mengukur kemampuannya terkait dengan persyaratan-persyaratan khusus dari suatu sistem sertifikasi sustainability,” jelas Neny.

Lalu apa hubungan antara jumlah sertifikasi dengan tingkat keberlanjutan sawit?

Dalam implementasi sustainability, aspek yang harus dipenuhi adalah tuntutan perundangan, lingkungan, sosial dan produksi.

Semakin luas areal perkebunan sawit yang disertifikasi serta semakin banyak produksi yang disertifikasi menunjukkan bahwa pengelolaan sawit di Indonesia semakin sustainable dan berdampak pada dukungan terhadap pembangunan nasional yang sustainable pula.

Namun demikian, dinamika dalam sustainability sawit bergerak dengan cepat dan persyaratannya terkadang beyond the law. Aspek transparansi, konservasi hutan (biodiversitas, jasa lingkungan, identitas budaya, tutupan lahan), gambut dan hak asasi manusia di dalam perusahaan terkadang menjadi isu sensitif bagi pemangku kepentingan.

Perkebunan Rakyat

Per Desember 2017, dalam sertifikasi RSPO, terdapat 92.398 petani sawit (smallholder) yang disertifikasi dengan luasan 298.136 Ha, terdiri dari petani mandiri sebanyak 3043 orang (11.682 Ha) dan petani skema (scheme smallholder) sebanyak 89.355 (283.454 Ha). Per Desember 2017, 1 asosiasi petani swadaya dan 3 KUD juga sudah mendapatkan sertifikat ISPO. Dalam lingkut ISCC, tidak kurang dari 18 KUD di Indonesia sudah mendapatkan sertifikat ISCC.

Neny memandang bahwa ada beberapa hal yang menjadi kendala petani kecil untuk bisa memenuhi skema sertifikasi ISPO, RSPO dan lainnya. Berbagai kendala tersebut meliputi aspek legalitas kebun, organisasi dan pengelolaan pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta perbaikan usaha berkelanjutan adalah pilar-pilar yang harus dipenuhi oleh petani.

“Oleh karena itu, bantuan pemenuhan legalitas, pendampingan dalam peningkatan kapasitas, serta dukungan pendanaan sangat diperlukan oleh petani,” tegasnya.

 

***DAP, Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *