Indikator kunci dalam pengendalian perubahan iklim ialah pengukuran karbon. Untuk mencapai target NDC diperlukan dukungan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat, NGO, dan sektor kehutanan.
UKUR-mengukur dan perhitungan karbon, akhir-akhir ini menjadi trend. Selain wujud kepedulian akan kelangsungan hidup serta alam yang sehat lestari, peluang cuan pun terbuka.
Lalu, ditengah antusiasnya berbagai pihak terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) tersebut, terbersit kebingungan. Awam mungkin beranggapan; perdagangan karbon bagai ‘menggantang asap’, dijual, lalu mendapatkan uang?Jelas, sosialisasi perlu digaitkan oleh negara. Seperti halnya yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pekanbaru, jelang penghujung Agustus lalu.
Dilansir dari situs Humas KLHK, belum lama ini Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), KLHK, Agus Justianto, melakukan Sosialisasi Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, di Kota Pekanbaru, Riau (24/08/2023).
Kuncinya: Hitung Karbon
Dalam kesempatan itu Dirjen PHL menggarisbawahi pentingnya pengendalian perubahan iklim dengan mengukur karbon sebagai indikator kunci.
Dikatakannya bahwa karbon memiliki nilai ekonomi dan dimensi internasional dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Dirjen PHL pun menambahkan, untuk mencapai target NDC, Sektor Kehutanan berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar –140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
Dia mengingatkan berbagai pihak terkait agar mendukung Net Zero Emission sektor kehutanan. Tujuannya ialah untuk memenuhi NDC yang menjadi kewajiban nasional, sebagai kontribusi bagi agenda perubahan iklim global, dengan memperhatikan visi Indonesia yang lebih ambisius dalam Dokumen LTS-LCCR 2050.
“Mengingat komitmen Indonesia terhadap target NDC dan pencapaian ambisius untuk Net Zero Emission Indonesia pada tahun 2030 sebagaimana Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, maka diperlukan dukungan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, sektor swasta, masyarakat, NGO, dan seluruh aktor sektor kehutanan,” Agus Justianto.
berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim. Diantaranya melalui Nilai Ekonomi Karbon (NEK), termasuk perdagangan karbon.
Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama: perdagangan emisi dan offset emisi.
Prospek Besar
Seperti halnya sebuah bisinis baru, trend isu perdagangan karbon makin marak sejak beberapa waktu belakangan ini. Mengikuti trend tersebut, Indonesia pun siap menggelar bursa karbon dalam waktu dekat. Menyambut hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun, belum lama ini, telah menerbitkan Peraturan OJK No. 14/ 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Nilainya luar biasa, dan bagi pencari ‘cuan’ jelas hal ini tak bisa dianggap enteng. Dilansir dari CNBC Indonesia, bahwa Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus USD 300 miliar atau sekitar Rp 4. 625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp 15.418 per USD) per tahun. Dikatakan bahwa nilai tersebut berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul, hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
***Riz***