Konservasi Kayu Ulin dalam Persepsi Budaya Dayak

Asih Perwita Dewi*, Deby Arifiani*, Izu Andri Fijridiyanto*

Sumber: Asih Perwita Dewi

Sebagian masyarakat mensakralkan nilai spiritual kayu ulin dengan berbagai persepsi budayanya. Hal ini ditemukan salah-satunya pada kelompok Masyarakat Dayak Kayan dan Kenyah di Desa Miau Baru dan Desa Marga Mulya, Kecamatan Kongbeng, Kutai Timur.

INDONESIA dengan khasanah biodiversitas hayatinya yang tinggi tidak dapat dipisahkan dengan interaksinya dengan manusia. Sejak zaman nenek moyang, manusia telah dikenal sebagai agen pemanfaat sejati bagi ragam sumber daya hayati

Sebut saja pemanfaatan primer sebagai pangan, sandang, dan papan, serta pemanfaatan sekunder seperti untuk kebutuhan upacara keagamaan, ritual budaya, dan ornamen fisik yang sengaja disediakan di sekitar lingkungan rumah dan di dalam rumah. Misalnya bagian dari bangunan atau patung dan pajangan di meja atau lemari.

Sebagaian besar sumber daya hayati bahkan menjadi sumber keuntungan dari tingginya variasi pemanfaatannya. Salah satunya menjadi komoditas perdagangan nasional dan dunia, sumber pakan fungsional, serta agen obat tradisional yang dapat dikembangkan sesuai dengan teknologi terkini.

Sumber: Asih Perwita Dewi

Kendati demikian, terdapat pula jenis-jenis yang memang sejak awal telah dikenal sebagai jenis yang cukup “seksi” dan memiliki nilai yang diluar ekspektasi, seperti harga jual yang sangat tinggi atau makna budaya yang sakral.

Tanpa pengolahan yang melibatkan teknologi tinggi, jenis-jenis tersebut telah dinilai “mahal” dalam wujud primernya. Salah satunya adalah kayu ulin, atau yang dikenal dalam skala internasional sebagai Bornean ironwood.

Menurut situs Plant of The World Online (POWO), kayu ulin yang memiliki nama ilmiah Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn. ini merupakan jenis endemik dari daratan pulau Kalimantan. Rekaman koleksi dari Herbarium Bogoriense menunjukkan persebaran jenis ini dapat ditemukan secara alami pada pulau Kalimantan dan juga Sumatera khususnya di Jambi, Palembang, dan Bangka-Belitung.

Diperdagangkan Terbatas

Meskipun pada saat ini status kelangkaan dari kayu ulin menurut situs Daftar Merah IUCN (IUCN Red List) telah berstatus Rentan/ Vurnerable (VU), namun masih ditemukan perdagangan kayu ulin secara terbatas, seperti pada laman online shopping maupun perdagangan langsung pada pelaku pemanenan langsung di desa-desa.

Pada ranah perundang-undangan sendiri, status perlindungan kayu ulin telah dicabut dengan dikeluarkannya Permen LHK P.106 Tahun 2018. Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap keberadaan ulin ini secara tidak langsung menimbulkan kekhawatiran akan status terkini populasi ulin di habitat alaminya.

Selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan diburu oleh banyak pelaku bisnis perkayuan di Indonesia, secara eksklusif kayu ulin juga memiliki nilai budaya yang melekat dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

Disakralkan

Sebagian masyarakat mensakralkan nilai spiritual kayu ulin dengan berbagai persepsi budayanya. Hal ini ditemukan salah-satunya pada kelompok Masyarakat Dayak Kayan dan Kenyah di Desa Miau Baru dan Desa Marga Mulya, Kecamatan Kongbeng, Kutai Timur.

Salah satu nilai spiritual kayu ulin yang masih dipertahankan hingga saat ini adalah pemanfaatan kayu ulin sebagai keranda untuk memakamkan jenazah.

Merunut dari asal pemanfaatan kayu ulin oleh masyarakat Dayak Kayan dan Kenyah, pemanfaatan kayu ulin muncul mengikuti penemuan kayu tersebut  daratan tempat tinggal mereka saat ini.  Tetua Adat Dayak Kayan di Desa Miau Baru, Bapak Martin Langat, mengemukan bahwa ketika nenek moyang mereka memasuki wilayah Kutai Timur, mereka menemukan jenis pohon berkayu yang terlihat kokoh dan tidak mudah lapuk oleh serangan bubuk (kutu) kayu dan jamur. Nenek moyang mereka kemudian memulai mendirikan tempat tinggal berupa rumah panjang dengan bahan dasar kayu utamanya adalah kayu ulin.

Selain mendirikan rumah panjang, kayu ulin juga dijadikan sebagai bahan dasar pembangunan Lamin Adat atau Balai Adat.

Namun karena diperuntukkan untuk acara-acara kebesaran adat, kayu ulin yang digunakan sebagai pilar dan tiang di dalam Lamin Adat diperindah dengan cara diukir menjadi beragam rupa representasi dari leluhur dan dewa kepercayaan dari masyarakat Dayak Kayan dan Kenyah.

*) Periset BRIN

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *