Kisah Meranti Terbesar di Hutan Desa Setulang

Oleh: Diana Prameswari*)

Kondisi hutan alam Tane’ Olen Desa Setulang, Malinau, (Foto: Bambang Parlupi – YSAD Juli)

Manusia perlu hutan dan hutan perlu manusia. Inilah kabar dari Tane’ Olen, tepatnya di Hutan Desa Setulang, dimana pohon meranti terbesar di Indonesia berdiri kokoh di kawsan tersebut.

TULISAN ini terinspirasi oleh Desa Setulang, Malinau, Kalimantan Utara. Memang tak terbantahkan, jika  selama hidupnya manusia pasti memerlukan hutan. Sebut saja papan, oxygen dan hasil hutan lainnya.

Namun di lain pihak, sesungguhnya hutan juga memerlukan manusia. Apakah betul demikian?

Ketika luas hutan berlimpah, memang hutan tidak memerlukan manusia. Namun belakangan ini, ketika luas hutan semakin berkurang, maka untuk menjaga eksistensi dan kelestariannya diperlukan peran manusia. Bila tidak, maka hutan suatu saat akan habis karena ulah manusia.

Penyebab berkurangnya hutan diantaranya penebangan pohon secara mekanis dalam skala besar untuk mengambil kayu pertukangan/timber. Contohnya pada hutan-hutan tropika di Indonesia dan Brazilia.

Penyebab lain yaitu; konversi hutan ke non hutan (pertanian, perkebunan sawit, pemukiman, industri), kebakaran hutan dan pertambangan.

Adanya kebutuhan untuk hidup itulah, maka masyarakat desa Setulang memiliki Tane’ Olen yang berarti  ‘tanah adat’. Hasil utama dari keberadaan Tane’ Olen ini adalah tersedianya air bersih untuk kehidupan seluruh masyarakat desa.

Status Tane’ Olen telah ditetapkan  sebagai Hutan Desa  oleh Kementerian Kehutanan dengan Surat Keputusan Nomor 526/Menhut-II/2013 yang tanggal 26 juli 2013.

Hutan pristine yang Benilai Tinggi

Berdasarkan hasil penelitian Sidiyasa et al (2006) yang didanai oleh Cifor, di hutan Tane Olen ditemui pohon dengan garis tengah atau diameternya hampir empat meter, tepatnya 398 cm. Pohon itu – oleh penduduk setempat disebut ‘beteny’. Jarang sekali terdapat pohon sebesar ini di Indonesia, mungkin saja ini pohon terbesar di Indonesia.

(Foto: Bambang Parlupi – YSAD Juli)

Ditemui juga pohon majau (Shorea johorensis) yang mempunyai diameter sebesar 223 cm yang terletak di lereng bukit bagian atas, yaitu di daerah antara anak sungai (‘lalut’) Tenapan dan lalut Payang. Tinggi pohon itu lebih dari 40 m,  dimana posisi tajuk menjulang di atas tajuk hutan.

Jenis-jenis pohon lainnya yang tajuknya seperti itu adalah banggeris (Koompassia excelsa) dan jelutung gunung (Dyera costulata).

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang ditemui di hutan ini adalah  tengkawang (Shorea macrophylla dan S. beccariana) jenis-jenis  rotan, buah-buahan, daun sang (Licuala valida), bahan sayur dan obat-obatan.

Potensi kayu berdasarkan hasil inventarisasi untuk pohon-pohon dengan diameter batang 20 cm keatas mencapai 497,73 m3 per hektar, dengan jumlah batang mencapai 234,31 pohon per hektar.

Potensi permudaan untuk tingkat semai (seedling) sangat tinggi yaitu  sebanyak 26.492,26 batang per hektar. Kerapatan pancang (sapling) juga  sangat tinggi, yaitu sebanyak 4.136,425 batang per hektar. Permudaan tingkat tiang (pole) yang berdiameter batang  10 – 20cm sebanyak 133 batang per hektar. Jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi penting, seperti ulin (Eusideroxylon zwageri) dan tengkawang (Shorea macrophylla) mempunyai  kerapatan 10,28 dan 7,43 pohong per ha

Jumlah jenis dari keseluruhan tingkatan vegetasi yaitu; pohon, pancang dan semai, telah ditemukan sebanyak 216 jenis yang termasuk ke dalam 120 marga dan  53 suku.

Jenis rotan terdapat sebanyak 20 jenis. Sementara jenis tengkawang yang dijumpai adalah Shorea macrophylla yang paling tinggi nilai ekonominya dan mempunyai ukuran buah yang besar. 

Jenis pohon penting lainnya adalah ulin (Eusideroxylon zwageri). Juga dijumpai Palem raja (Caryota no) berukuran pohon, tumbuh secara soliter. Tingginya sekitar 17 m dan diameter batang 45 cm. Ada pula jenis pohon penghasil gaharu yaitu Gaharu (Aquilaria beccariana).

Sebuah Lembaga internasional yang bergerak dalam bidang penelitian hutan, CIFOR (Center for International Forestry Research) yang berkantor pusat di Bogor, merasa berkewajiban untuk untuk membantu, sebagai mediator untuk mencapai sasaran yang diharapkan oleh masyarakat Desa Setulang. Salah-satu hasilnya diantaranya berupa penghargaan tertinggi di bidang lingkungan yaitu Kalpataru  dari Presiden Republik Indonesia yang diraih Desa Setulang pada tahun 2003.

Manfaat Hutan Tane’ Olen

Manfaat utama adanya hutan Tane’ Olen  bagi masyarakat Desa Setulang adalah ketersediaan air bersih sepanjang tahun. Dengan menggunakan pipa, maka air bersih dari Tane’ Olen dapat dinikmati masyarakat desa Sepanjang tahun, walaupun  terjadi hujan. 

Sungai setulang adalah anak sungai Malinau. Pada waktu hujan terutama hujan besar maka air sungai malinau menjadi keruh, sedangkan sungai setulang tetap bersih. Kondisi hutan Tane’ Olen yang merupakan hulu dari sungai setulang dalam kondisi yang baik sehingga air tetap jernih.

Manfaat lainnya yaitu; perolehan kayu untuk bahan bangunan,  perahu, dan peti mati. Masyarakatpun memperoleh bahan untuk makanan  diantaranya ikan, buah-buahan, binatag dan  sayuran. Disamping  itu warga desa juga bisa memanen rotan untuk berbagai keperluan, daun untuk atap dan daun untuk topi.

Bahan baku kerajinan, yaitu alat musik dan perlengkapan tari-tarian pun diperoleh warga Desa Setulang dari hutan adat tersebut. Sehingga secara  umum Tana’  Ulen atau Tane’ Olen mengandung  pengertian  hukum  sebagai  tanah yang dilarang untuk orang lain.

Setulang Sebagai Desa wisata

Tak cukup sampai di situ. Setulang juga merupakan desa wisata. Desa yang terletak di Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara itu, dilintasi aliran sungai Malinau, tepatnya pada pertemuan sungai Setulang dan Malinau.  

Desa Setulang ditetapkan sebagai desa wisata berdasarkan Keputusan Bupati Malinau Nomor 430/K.351/2013.

Masyarakat desa ini adalah suku Dayak Kenyah Uma Lung, yang berasal dari kampung mereka yang lama yaitu Long sa’an. Mereka pindah ke beberapa daerah yaitu Pimping, Long Belua, Batu Kajang, dan Desa Setulang.

Hutan Tane’ Olen berada di wilayah Desa Setulang. Jarak  dari pemukiman desa Setulang ke Tane’ Olen cukup dekat. Untuk mencapai Tane’ Olen menggunakan perahu melewati Sungai Setulang sampai ke Tane’ Olen.

Di Desa Setulang terdapat banyak sekali objek wisata baik kakayaan alam terutama flora dan fauna Tane’ Olen maupun kebudayaan.  Disamping terdapat kesenian berupa tari-tarian masyarakat Dayak Oma’ Lung, memanjangkan telinga, tatto, meghala edang, bangunan lumbung padi, pengrajin besi, kuburan, dan rumah panjang yang dipenuhi oleh ukiran-ukiran Dayak.

Objek wisata hutan asli Tane’ Olen yang indah dengan sungai yang bersih dan berbatu dan terdapat air terjun. Pohon-pohon yang besar dan udara yang bersih telah menarik minat para pengunjung. Banyak pengunjung  dari luar negeri antara lain para peneliti dan tamu  CIFOR yang menyukai hutan Tane’ Olen yang asri dan masih asli.

Balai pertemuan Desa  dan tarian Dayak Kenyah Oma Lung Setulang (Foto: //budayamalinau.wordpr dan www.malinau.go.id)

Untuk mencapai Tane’ Olen desa Setulang sangat mudah. Jakarta – Balikpapan – Tarakan menggunakan pesawat berukuran besar. Selanjutnya dari Tarakan menuju Malinau dapat menggunakan pesawat udara atau menggunakan speed boat. Menuju ke desa Setulang dapat menggunakan jalan darat atau jalan air menggunakan perahu. Tane’ Olen dapat dicapai dari Jakarta pada hari yang sama.          Penginapan di desa Setulang telah dikelola oleh Badan Pengelola berupa  rumah penduduk atau home stay. Juga terdapat mess tamu yang dikelola oleh Badan Pengelola Tane’ Olen.

*)Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan, BRIN

Redaksi Green Indonesia