Isu Karhutla kembali menjadi bahasan hangat, setelah sekian lama sepertinya sepi pemberitaan. Sebuah webinar, beberapa waktu lalu mengangkat topik ini untuk dibahas.
“Jangan lengah. Ancaman kebakaran hutan dan lahan selalu ada, terutama bagi daerah yang masuk dalam kategori rawan kebakaran hutan dan lahan. Salah-satunya ialah Sumatera Selatan,” jelas Dr. Syafrul Yunardi, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Sumatera Selatan, yang menjadi pembicara dalam webinar itu.
Untuk itulah, webinar berseri tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terkait akar masalah, penyebab dan tantangan terkait karhutla yang terjadi. “Pada akhirnya, ekspektasi kita ada pada bagaimana karhutla ini dapat diminimalkan melalui langkah penyelesaian atau solusi yang permanen,” tambah Syafrul.
Lalu beberapa pertanyaan pun muncul, diantaranya; apakah Karhutla terjadi karena lemahnya sistem, rendahnya kesadaran masyarakat, lahan kita yg mudah terbakar?
Menurut Syafrul, ada banyak hal yang menyebabkan karhutla sering berulang setiap tahunnya. Dari sisi sistem misalnya, masih diperlukan upaya penguatan sistem informasi dan kelembagaan yang efektif dalam melakukan upaya pengendalian karhutla. Selain itu diperlukan pula edukasi secara rutin kepada masyarakat terkait dampak negatif dari pembakaran hutan.
Pada sisi lain, tambah Syafrul, luasnya lahan gambut yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan budidaya menyebabkan karakteristik dan sifat gambut yang terganggu sejatinya menjadi mudah terbakar.
Ulah Manusia
Lebih jauh dijelaskan Syafrul, bahwa Karhutla yang terjadi di Indonesia sekitar 99% disebabkan oleh manusia. Oleh karena itu upaya mengatasi karhutla harus fokus pada pengendalian aktifitas manusianya.
Dikatakannya, masih banyak parapihak yang menggunakan api sebagai alat untuk membuka lahan. Melalui cara membakar ini dianggap oleh pelaku lebih mudah, lebih murah, dan dapat menyuburkan tanah. Tanpa berfikir dampaknya yang negatif bagi pihak lain akibat apinya maupun dampak asapnya.
Padahal menurut Syafrul, saat ini sudah banyak digunakan teknologi pembukaan dan pembersihan lahan tanpa membakar. Misalnya dengan memberikan bantuan hand tractor kepada kelompok masyarakat yang dapat bergantian penggunaannya.
Sisa biomassa potongan ranting dan daun hasil pembukaan dan pembersihan lahan dapat diolah menjadi asap cair. “Hal ini bermanfaat sebagai insektisida dan beberapa penggunaan lainnya. Ini juga dapat sekaligus menciptakan nilau tambah ekonomi bagi masyarakat,” tutur Syafrul.
Ketua Forum DAS Sumsel ini pun memaparkan, bahwa strategi menurunkan kejadian karhutla dapat dilakukan dengan mendorong pencegahan sedini mungkin melalui pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) oleh pemerintah. Strategi ini terbukti efektif menurunkan kasus karhutla di tahun 2020 yang lalu.
Selanjutnya ialah penerapan hujan buatan pada wilayah rawan karhutla, terutama di lahan gambut yang hari tanpa hujannya 5-7 hari. Ini akan mampu mencegah lahan mudah terbakar karena kondisi lahan masih tetap basah atau lembab. “Disamping itu, kelembagaan Masyarakat Peduli Api (MPA) juga perlu terus diperbanyak dan diperkuat perannya,” tambah Syafrul.
Syafrul pun tak lupa menyarankan agar pihak swasta atau para perusahaan pemegang ijin usaha di bidang kehutanan dan perkebunan juga didorong untuk melakukan kolaborasi secara bersama dalam menangani karhutla di areal yang berdekatan.
Seperti diketahui, beberapa bulan lagi musim kemarau akan datang. Untuk itu, tentu, antisipasi karhutla perlu dilakukan parapihak sejak musim penghujan. Dalam hal ini, pemerintah daerah sudah melakukan monitoring dan evaluasi kesiapsiagaan sarana prasarana dari para pemegang ijin usaha kehutanan dan perkebunan.
“Harus dipastikan bahwa peralatan dan regu pemadam dalam kondisi cukup dan baik keadaannya sehingga dapat dimobilisasi setiap saat jika terjadi karhutla,” tegas Syafrul.
Dia pun menyarankan, agar kelompok MPA juga dilatih dan dilengkapi peralatannya oleh pihak terkait, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam pengendalian karhutla.
Kearifan Lokal
Di Sumatera Selatan, seperti dikisahkan Syafrul, dulu masyarakat yang tinggal di hulu (masyarakat Huluan) sudah menerapkan tatacara penggunaan api yang terkendali. Apabila ingin membakar ladang maka harus melapor kepada lembaga di wilayah setempat.
Selanjutnya lembaga tersebut akan mengatur waktu kapan saatnya membakar dan menyiapkan petugas khusus yang mengatur pembakaran serta membuat sekat bakar sebelumnya agar api tidak melebar dan dapat dikendalikan. Pengetahuan lokal dan kearifan lokal ini dapat dijumpai dalam Kitab Simbur Cahaya yang didalamnya ada bagian khusus terkait Aturan Dusun dan Berladang.
Simbur Cahaya adalah kitab undang-undang hukum adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan di pedalaman Sumatra Selatan, dengan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk undang-undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi masyarakat Nusantara. Kitab Simbur Cahaya ini ditulis oleh Ratu Sinuhun yang merupakan isteri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan (1636 – 1642 M).
Banyak kearifan lokal masa lalu yang melarang melakukan pembakaran di wilayah yang ditetapkan sebagai ‘hutan larangan’. Wilayah hutan ini biasanya berada di hulu sungai sehingga apabila rusak dan dibakar maka akan mempengaruhi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air untuk keperluan pemukiman dan kebutuhan pertanian dan perkebunan masyarakat setempat hingga ke hilirnya. Jadi tidak semua wilayah hutan dan lahan dapat dilakukan pembakaran.
Adapun untuk areal lainnya diterapkan aturan yang sangat ketat dengan mempertimbangkan dampak negatifnya. “Apalagi dengan terjadinya perubahan iklim (climate change) yang sangat terasa saat ini maka perlu pertimbangan yang matang dan tepat dalam penggunaan api untuk membuka atau membersihkan lahan. Kalau tidak maka pembakaran yang dilakukan akan sulit untuk dikendalikan. Maka bijaklah menggunakan api,” tutur Katua Forum DAS Sumsel tersebut.
***Riz***
No comment