Peningkatan emisi karbon ke atmosfer akan turut meningkatkan emisi polutan lokal seperti karbon monoksida, mono-nitrogen oksida, ozon daratan, serta debu yang termasuk juga PM10 dan PM2,5.
SELAMAT datang di ‘belantara batu’ Jakarta. Sergapan kabut asap kian mengaburkan pemandangan, pemakaian masker pelindung tampaknya perlu diketatkan lagi.
Sejumlah orang, terutama anak-anak, mulai terjangkit ISPA (infeksi saluran pernafasan bagian atas). Lalu para pegiat lingkungan dan warga pun khawatir, kondisi udara di Jakarta akan semakin parah.
Mediamassa pun tak luput memberitakan, disamping serunya isu politik kekuasaan. Tercatat sejak Juli 2023, kualitas udara di ibukota republik ini jadi perbincangan. Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian LHK, Luckmi Purwandari, mengatakan bahwa kualitas udara Jakarta di bulan Mei, Juni, Juli, Agustus setiap tahunnya lebih buruk dibanding bulan-bulan lainnya.
“Hal ini terjadi karena adanya pengaruh siklus musim. Pada bulan April sampai September adalah musim kemarau dimana bertiup angin timur yang kondisinya kering serta membawa debu dan partikel lebih banyak,” kata Luckmi, seperti dilansir dari BBC Indonesia (08/06).
Terburuk
Mengutip hasil pantauan DataIndonesia.id, Jakarta, Indonesia tercatat menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada 31 Agustus 2023. Hal itu terlihat dalam perhitungan indeks kualitas udara (Air Quality Index/AQI) di wilayah tersebut yang mencapai 167.
Posisinya diikuti oleh Dhaka, Bangladesh dengan skor indeks kualitas udara di level 162. Lalu, Johannesburg, Afrika Selatan dan Lahore, Pakistan masuk dalam daftar kualitas udara terburuk dengan level AQI 158. Selanjutnya, skor indeks kualitas udara di Doha, Qatar tercatat sebesar 154. Kemudian, tingkat polusi udara Kolkata, India sebesar 153 poin.
Jurnal Environmental Science and Technology yang dipublikasikan 2022, secara sistematis membuktikan peningkatan jumlah kendaraan bermotor menjadi penyebab utama polusi udara yang sangat tinggi di sejumlah kota besar di dunia, termasuk Jakarta.
Dampak Perubahan Iklim
Kendaraan bermotor menghasilkan emisi gas seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx) serta gas hidrokarbon dan partikel-partikel halus (PM 10 dan PM 2,5) yang menjadi parameter polutan udara yang sangat berbahaya. Hal lain yang harus mendapat perhatian adalah tingginya aktivitas industri di kawasan penyangga Jakarta yang juga menyumbang polutan udara.
Para ahli mengungkapkan, peningkatan emisi karbon ke atmosfer juga akan turut meningkatkan emisi polutan lokal seperti karbon monoksida, mono-nitrogen oksida, ozon daratan, serta debu yang termasuk juga PM10 dan PM2,5.
Mitigasi
Untuk menurunkan tingkat polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi: mulai dari uji emisi, menyiram jalan, sampai menyemprotkan air dari atas gedung pencakar langit.
Namun, seperti ditulis BBC, para pegiat lingkungan menyebut sebagian besar ikhtiar yang dilakukan pemerintah masih bersifat responsif, tidak strategis, dan tidak berlandaskan bukti ilmiah.
Mengutip dari CNBC Indonesia, Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta akhirnya memberlakukan kebijakan work from home (WFH) bagi separuh aparatur sipil negara (ASN), guna memperbaiki kualitas udara di ibu kota yang terlampau tinggi kadar polutannya. Meskipun bisa dikatakan agak terlambat, tetapi kebijakan itu bisa bermakna ganda, yaitu memperbaiki kualitas udara sekaligus melindungi para pekerja.
***Riz***