Dr. Yonvitner: Pemanfaatan Biodiversity Tanpa Merusak

Dalam evaluasi kebijakan tata kelola pesisir dan laut, terlihat adanya dinamika perjalanan yang menarik. Dulu dikenal istilah rencana zonasi, rencana aksi dan rencana implementasi. Itu sesuai dengan mazhab UU 27 tahun 2007. Sekarang muncul keinginan adanya pedoman yang lebih rinci, bicara tentang pengelolaan sumberdaya yang optimal.

Baru – baru dilaksanakan Workshop pengayaan penyusunan rencana teknis pemanfaatan di kawasan konservasi perairan (KKP) berdasarkan daya dukung. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama parapihak diantaranya Bappenas, ICCTF, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB (PKSPL IPB), Pemda Papua Barat dan beberapa pihak lainnya.

Pada acara tersebut, Dr. Yonvitner, yang merupakan Kepala PKSPL IPB menyatakan, “dalam perjalanan kebijakan KKP, diskusi mengenai aspek konservasi cukup dominan. Terutama jika bicara beberapa provinsi di Indonesia. Kenapa konteks konservasi yang dikembangkan untuk Papua Barat? Karena ruang Papua Barat (Pabar) termasuk Sorong dominan kawasan konservasi. Untuk itu dibutuhkan formulasi yang dapat mengoptimlkan fungsi, mengetahui detil daya dukung dan dapat mengukur secara tepat manfaat dari berbagai kegiatan”.

Beberapa formulasi sudah dikembangkan. Sekarang mulai dikenalkan adanya industry science berkelanjutan. Dalam konteks ini kawasan konservasi bukan hanya bicara kekayaan dan asset berupa biodiversity tapi juga bicara mengenai pemanfaatan.

Menurut Yonvitner, “Ini yang fundamental untuk basis pembangunan. Kalau konservasi bisa dimanfaatkan dengan baik akan meningkatkan ekonomi wilayah. Kita perlu model pemanfaatan kawasan konservasi tanpa merusak ekosistem”.

Program yang dilakukan Bersama parapihak ini untuk pemanfaatan kawasan konservasi yang optimal terutama bagi masyarakat. Ini akan dijadikan guide line pengelolaan Kawasan konservasi. PKSPL IPB dipercaya oleh Bappenas dan ICCTF untuk membantu penyusunan rencana teknis.

“Dokumen yang kita sususn ini adalah pedoman yang belum final dan masih dapat diperbaiki sesuai perkembangan. Ini yang kita sebut sebagai living document. Inti dari living document adalah dokumen dapat diperbarui sesuai kemajuan ilmu pengatahuan tapi memiliki rambu – rambu sustainability dan konsep pemanfaatan biodiversity tanpa merusak”, jelas Yonvitner.

***MRi***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *