Dr. M Rifqi: Tambak Udang (Tradisional) Picu Emisi Karbon

Blue Carbon merupakan isu strategis bagi budidaya tambak udang.


TAMBAK udang tradisional, berdasarkan sebuah riset, ternyata sangat merugikan dari sisi emisi karbon.

Hal tersebut disampaikan oleh Dr. M. Rifqi, Perencana Ahli Madya, Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya – Kementerian Kelautan dan Perikanan pada kegiatan Blue Carbon Accounting Training di Kampus IPB Baranangsiang Bogor sore tadi (Rabu, 08/02). Kegiatan yang digelar oleh PKSPL IPB tersebut diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai instansi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Lebih lanjut dikatakan Rifqi, bahwa 1 kg udang tambak tradisional menghasilan emisi karbon setara 1,6 ton. Hal ini cukup mencengangkan, karena bukan mustahil kelak bisa saja udang tidak laku, apalagi untuk pasar ekspor, karena divonis tidak ramah lingkungan alias merusak alam.
Namun selanjutnya Dr. Rifqi menjelaskan, bahwa budidaya udang  secara intensif dan modern ternyata hanya menghasilkan sekitar 1,8 kg karbon per hektarnya. Artinya, emisi yang ditimbulkan jauh lebih rendah sekaligus produktifitas dan nilai ekonominya jauh lebih tinggi.

“Untuk itu, semua tambak udang harus intensif atau dikelola secara modern,” jelas Rifqi.


Ancaman Besar

Lebih jauh dipaparkan Rifqi, bahwa sejak jaman antah berantah, hingga tahun 1960-an,  Indonesia sudah kehilangan 200.000 hektar mangrove. Sampai tahun  2000-an, raibnya kawasan mangrove telah mencapai lebih kurang 800.000 hektar.

“Penyebabnya adalah tambak udang serta pengambilan kayu,” ungkapnya.

Dia pun memperkirakan, jika gejala tersebut tidak diantisipasi sejak dini, maka dalam dua dekade mendatang akan terjadi kehilangan mangrove seluas 600.000 hektar lagi. “Kehilangan mangrove terbesar terjadi di Kalimantan,” jelasnya.


Intensif dan Berkelanjutan

M. Rifqi menjelaskan, bahwa ekosistem pesisir merupakan kawasan stok karbon yang sangat besar atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘blue carbon’. Disamping itu, durasi penyimpanan karbonnya yang lama merupakan sebuah kelebihan dari ekosistem pesisir.

“Dan hebatnya lagi, potensi emisinya dapat dikelola dan mendukung kebijakan adaptasi,” jelas pakar kelahiran Padang Lawas, Sumatera Barat itu.

***Riz***


Redaksi Green Indonesia