Beras, Diabetes dan Gas Rumah Kaca

Kurangilah makan nasi, ganti dengan makanan lain (diversifikasi pangan) agar sehat. Selain itu alam pun akan lestari jika alih fungsi hutan menjadi sawah dapat dikurangi.

BUTIRAN putih, kecil memang, tapi bisa ‘menggigit’.  Krisis pangan sanggup mengguncang stabilitas bangsa. Maka, demi urusan perut itupun negara memprogramkan perluasan sawah di berbagai daerah. Namun disisi lain, konsumsi beras seyogyanya dikurangi mengingat dampak negatifnya yang beragam.

“Asupan makanan tidak berimbang ditambah kurangnya aktivitas tubuh akibat pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19 bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Konsumsi karbohidrat yang berlebihan ditambah gaya hidup sedentari alias ‘gerak minimal, makan maksimal’, bakal memicu obesitas, diabetes, penyakit jantung, hingga kanker,” tulis sebuah Siaran Pers yang diterima GI, Senin (20/12).

Penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan sedikitnya 2 juta kematian manusia di dunia setiap tahunnya disebabkan karena minimnya aktivitas tubuh. WHO pun mengingatkan, gaya hidup sedentari bisa jadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia.

Selain itu, tanpa disadari, konsumsi beras yang tinggi mendorong upaya pemacuan produksi tanaman padi. Akibatnya, terjadi alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah, yang dampaknya juga buruk bagi lingkungan hidup.

Diabetes dan GRK

Melalui Pers Release yang dikirim ID COMM ke Redaksi GI (20/12), dr. Alvi Muldani, dokter dan relawan di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) mengatakan, faktor penyebab penyakit diabetes di Indonesia, di antaranya konsumsi kalori lebih besar dibandingkan kebutuhan dan kurangnya aktivitas tubuh seperti mengkonsumsi nasi berlebih namun tidak diiringi aktivitas fisik yang cukup.

“Mengkonsumsi nasi berlebih bisa berkontribusi pada risiko diabetes. Selain itu, faktor lain yang juga berkontribusi pada diabetes seperti gaya hidup sedentari dan kegemukan. Dari penelitian didapatkan orang yang mengonsumsi nasi 450 gr sehari di Bandung dibandingkan dengan yang mengkonsumsi 150 gr memiliki risiko 20% lebih besar untuk terkena diabetes.

Dikatakannya, pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi membuat aktivitas fisik masyarakat menurun sehingga bisa meningkatkan risiko obesitas dan akhirnya meningkatkan risiko diabetes. Ditambahkannya bahwa, jika semua orang Indonesia punya pola makan seperti ini, negara memerlukan produksi beras yang semakin banyak.

“Nah, sayangnya, produksi beras menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi. Peningkatan gas rumah kaca yang terlalu tinggi telah menyebabkan perubahan iklim. Apalagi banyak lahan sawah sudah mulai menyusut, menanam padi di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi bisa menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar. Akhirnya konsumsi nasi kita yang tinggi, turut memperburuk kerusakan alam dan menciptakan masalah sosial,” jelasnya.

Merujuk pada informasi dalam Our World in Data (Juni 2021), pada tahun 2020, dunia mengeluarkan sekitar 34.81 miliar ton gas CO2, sebanyak 589.50 juta ton diantaranya dari Indonesia. Website tersebut juga merilis hasil penelitian bahwa produksi beras per kilogramnya menghasilkan 4,45 kilogram ton gas rumah kaca.

Nilai itu termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya. Umbi-umbian dan singkong, yang juga pangan pokok, menghasilkan jauh lebih kecil gas rumah kaca dari pada beras per kilogramnya. Sedangkan singkong hanya menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca. Singkong dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat utama di beberapa bagian Indonesia.

Selain singkong dan umbi-umbian, sumber karbohidrat lain yang juga tumbuh di Indonesia juga menghasilkan gas rumah kaca jauh lebih kecil dari beras, di antaranya, kentang sekitar 0,46 kilogram, jagung sekitar 1,7 kilogram, dan pisang sekitar 0,86 kilogram.

Kritik Food Estate

Namun faktanya pemerintah akan membuka lahan baru melalui program food estate, salah satunya di Kalimantan dan Papua. Di wilayah Kalimantan Tengah, food estate dibangun pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG), yaitu di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan luas 30,000 hektare.

Menurut data WALHI, di Papua akan dialokasikan lahan food estate. Diantaranya sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400,000 hektar di Mappi, 32,000 hektar di Boven Digoel, dan 4,650 hektar di Yahukimo. Kenyataan ini mendapat kritik dari para aktivis lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat.

Diversifikasi Pangan

Alvi berpandangan, Indonesia memiliki ragam karbohidrat yang lebih minim risiko terhadap diabetes selain nasi putih. Selain jenis beras, beberapa sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dan mengandung banyak serat antara lain sagu, kentang utuh, kacang-kacangan, dan sayur-mayur.

Anjuran mengurangi konsumsi nasi untuk kesehatan ini sejalan dengan anjuran untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan. Mulia Nurhasan, Food and Nutrition Scientist dari CIFOR (Center for International Forestry Research) mendukung anjuran dr. Alvi agar masyarakat mengurangi konsumsi nasi.

Mulia menyampaikan bahwa rekomendasi dari studi terbaru dalam The American Journal of Clinical Nutrition (2021) yang mempelajari pola konsumsi yang berkelanjutan di Indonesia adalah anjuran mengurangi konsumsi nasi bagi masyarakat kita. Mulia memberikan penjelasan: “Kita sering gak kepikiran, bahwa pola konsumsi makanan kita memiliki dampak pada lingkungan,” ucapnya.

Studi yang dilakukan CIFOR pada Juni 2021 bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan”7 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi. “Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit dicapai karena makanan kita hanya itu-itu saja” tutur Mulia.

“Keseimbangan makanan bisa tercermin pada keragaman bahan pangan yang tersaji pada isi piring kita. Ketika pilihan makanan di piring kita tidak seimbang, maka kita perlu ingat bahwa isi piring ini berasal dari ekosistem di sekitar kita. Dan ketidakseimbangan isi piring kita, akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. Hal ini karena setiap makanan yang kita tempatkan di piring kita, berasal dari sebuah proses produksi dan distribusi bahan pangan yang punya dampak lingkungan dan sosial, termasuk di antaranya, menghasilkan emisi karbon,” tutur Mulia.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *