Reni Setyo Wahyuningtyas*)
“Jika Anda berkunjung ke Kalimantan Selatan jangan lupa mencoba lauk dari buah yang satu ini. Namanya buah tarap.”
KALIMANTAN Selatan sudah lama terkenal dengan beragam kuliner tradisionalnya, yaitu masakan khas Banjar. Salah satunya adalah masakan dari buah tarap.
Uniknya, buah ini memang jarang dijual dalam bentuk buah segar. Namun saat musimnya, buah yang masih muda banyak ditemui di pasar dan dijual dalam bentuk buah rebus dan diasinkan. Orang menyebutnya jaruk buah tarap.
Produk inilah yang kemudian diolah menjadi beragam masakan tradisional khas Banjar, seperti tumis (oseng) jaruk tarap, oseng mandai tarap dan sayur berkuah santan.
Mengenal Buah Tarap
Tarap memiliki nama latin Artocarpus sericicarpus F.M. Jarrett. Species ini termasuk dalam famili Moraceae yang masih satu kerabat dengan buah nangka, sukun dan cempedak.
Di Kalimantan Selatan buah ini lebih banyak ditemukan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS). Kedua daerah tersebut merupakan sumber penghasil jaruk tarap yang kemudian dipasarkan ke daerah sekitarnya, seperti Kota Banjarmasin dan Banjarbaru.
Pohon tarap umumnya berbuah satu kali setahun. Namun musim buah tarap cukup panjang yaitu mulai bulan Oktober sampai Maret, yaitu bersamaan dengan musim penghujan.
Karena musim bertanam padi oleh Masyarakat lokal, maka sayur dari olahan buah tarap sering disajikan sebagai bekal makan siang oleh masyarakat lokal ketika musim tanam padi di ladang.
Tempat Tumbuh
Pohon tarap bisa tumbuh besar, dengan tinggi 9-15 m dan diameter batang 15 – 40 cm (Lillo et al., 2021). Secara alami tarap tumbuh alami di Malaysia (Sarawak), Philippina dan Indonesia (Kalimantan, Sulawesi dan Maluku).
Habitat asli tarap adalah pada hutan tropis dataran rendah. Namun umumnya tarap dapat ditemukan mulai dataran rendah hingga perbukitan, dan termasuk jenis yang toleran pada daerah dengan permukaan air tanah yang rendah (Wicaksono, 2018).
Gangguan
Seiring dengan semakin sedikitnya pohon penghasil kayu di alam, maka banyak pohon tarap ditebang untuk diambil kayunya. Kayu tarap juga menjadi kayu rakyat yang diperjualbelikan masyarakat untuk memasok kebutuhan kayu local, terutama sebagai bahan bangunan, seperti papan dan reng. Pemanfaatan kayu tarap yang cenderung ekstraktif ini dikhawatirkan akan mempercepat penurunan populasinya.
Menurut data CITES tahun 2018, tarap (A. sericicarpus) terdaftar dengan status LC (least concern). Artinya, tarap masih mudah ditemukan di alam, tetapi adanya perubahan tutupan lahan dari hutan sekunder menjadi peruntukan lain seperti perkebunan dan pemukiman dikhawatirkan dapat menyebabkan populasinya semakin menurun.
Hasil penelitian terakhir menunjukkan pohon tarap justru lebih banyak tumbuh di pekarangan sekitar pemukiman penduduk di Kabupaten HSS dan HST. Di lahan masyarakat tersebut, pohon tarap tumbuh alami bersama pohon buah lainnya.
Masyarakat memelihara pohon tarap karena buah yang dihasilkan, bukan untuk tujuan kayunya. Domestikasi alami tarap pada pekarangan ini membuat tarap saat ini lebih mudah ditemukan di dekat pemukiman masyarakat dibandingkan keberadaan di hutan sekunder sebagai habitat alaminya.
Selain itu, aktivitas perkebunan monokultur yang seringkali menghilangkan jenis lain. Dalam pemeliharaan tanaman pokok, tarap sering dihilangkan karena dianggap jenis pengganggu.
Budidaya
Tarap mudah dibudidayakan dari biji. Namun di habitat alaminya, permudaan alami tarap sedikit ditemukan karena predator buah yang memakan daging buah beserta bijinya.
Saat ini pohon tarap yang tumbuh di lahan masyarakat juga masih berasal dari permudaan alam sehingga masih sedikit informasi umur berbuahnya. Namun tarap juga memiliki kelebihan yaitu mudah memunculkan terubusan.
Pada pohon dewasa dengan sistem perakaran yang telah berkembang, terubusan mudah muncul setelah batang utamanya ditebang. Karakter tersebut menyebabkan tarap sering dipelihara sebagai tanaman tepi pekarangan atau batas ladang pada sistem perladangan berpindah oleh masyarakat lokal.
Pangan Lokal
Potensi buah tarap sebagai pangan lokal adalah berasal dari buah yang dihasilkan. Satu pohon tarap bisa menghasilkan sekitar 300 buah.
Buah tarap berbentuk bulat, dengan diameter 16-20 cm dan permukaan kulitnya kasar berambut. Buah yang masak berwarna kuning dengan daging buah berwarna putih dan tekstur lunak berair, serta memiliki rasa manis dan beraroma harum.
Buah masak selain mengandung karbohidrat, protein, lemak dan vitamin C yang tinggi, juga mengandung banyak mineral seperti kalium, kalsium, fosfor, magnesium dan zink (Voon & Kueh, 1999).
Karena buah tarap tergolong buah buah klimaterik yang mengalami proses pematangan berlanjut walaupun buah sudah dipetik, maka pemasaran buah matang menjadi sulit. Kandungan getah yang sangat lengket pada kulit buah masak, dan mudahnya buah menjadi lunak menyebabkan masyarakat cenderung memanen buah tarap pada saat muda untuk diolah menjadi jaruk tarap.
Bagi masyarakat Banjar, jaruk adalah olahan sayuran dan buah yang direbus dan diberi garam. Kemudian difermentasi beberapa lama, sehingga muncul citarasa asam yang enak. Olahan ini juga bertujuan membuat buah menjadi tidak mudah busuk, mudah dipasarkan, bahkan bisa disimpan sebagai persediaan lauk selama berbulan-bulan.
Karena daging buahnya yang tebal, seringkali masyarakat menggunakan jaruk tarap sebagai pengganti daging yang harganya jauh lebih mahal.
Potensi Pengembangan
Ditinjau dari nilai ekonomi, buah tarap memang masih kalah dengan buah lokal yang lebih populer, seperti durian, mangga, manggis dan lainnya. Namun, tarap memiliki satu kelebihan, yaitu sebagai buah lokal yang dapat diolah menjadi lauk dan dapat disimpan lama.
Bagi masyarakat lokal yang tinggal di wilayah terpencil, kebutuhan pangan tidak selamanya bisa mengandalkan pasokan dari luar. Sehingga pangan lokal merupakan andalan utama ketika musim paceklik tiba. Musim kemarau panjang yang baru lalu juga membuktikan, ketika padi dari luar daerah semakin mahal, masyarakat lokal tidak terlalu terdampak karena kebutuhan beras dapat dipenuhi dari panen di ladang sendiri.
Saat ini, meningkatnya popularitas pangan lokal juga dipicu adanya residu pestisida yang tinggi pada sayuran komersial. Hal ini telah merubah pandangan masyarakat perkotaan terhadap buah dan sayuran dari hutan yang awalnya dianggap memiliki nilai gizi dan prestise yang rendah, kini berubah menjadi sayuran asli yang banyak dicari, karena bebas pestisida.
Buah lokal juga memiliki adaptasi yang lebih baik dengan ekosistem lokal, mudah tumbuh dan memiliki sedikit hama dan penyakit dibandingkan dengan varietas introduksi. Ketahanan pangan masyarakat lokal dengan budidaya pohon tarap di pekarangan diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan di Kalimantan Selatan.
Selain mendukung upaya konservasinya, pengembangan pohon buah lokal juga dapat mengurangi resiko penebangan karena masyarakat tak lagi menanam pohon untuk diambil kayunya. Namun buah yang terus dimanfaatkan hingga diwariskan ke anak cucunya.
*) Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional