Oleh: Antun Puspanti*)
Bijak memilih makanan akan berkontribusi untuk lingkungan. Mengapa? Karena makanan yang dikonsumsi memiliki jejak karbon.
SADAR atau tidak, makanan yang dikonsumsi ternyata memiliki jejak karbon yang berkontribusi dalam terjadinya perubahan lingkungan.
Pemanasan global menjadi issue panas yang mengemuka di banyak negara. Emisi gas rumah kaca menjadi salah satu penyebabnya. Para peneliti telah banyak mengungkapkan tentang jejak karbon (carbon footprint). Bahkan mereka pun menakar jumlah karbon atau gas emisi gas rumah kaca yang timbul dari tiap aktivitas manusia.
Jejak karbon ini bisa berasal dari individu, perusahaan/industri, atau di level negara. Carbon footprint biasanya diukur dalam satuan ton emisi (CO2 equivalent) per unit perbandingan, misalnya per tahun, per orang, per kg protein, per km perjalanan, dan sebagainya. Jejak karbon ini dapat digunakan untuk menakar kontribusi dari sebuah aktivitas terhadap terjadinya perubahan iklim dunia.
Jejak Karbon Makanan
Makanan yang dikonsumsi setiap hari ternyata menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Jejak karbon dari makanan (food carbon footprints) dihitung berdasarkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari bahan makanan, mulai dari proses awal produksi sampai ke pembuangannya.
Secara global, produksi makanan bisa menghasilkan 17,3 miliar metrik ton CO2e yang jumlahnya kurang lebih seperempat dari total emisi gas rumah kaca di seluruh dunia (Xu, et al., 2021). Dari total emisi tersebut, sebanyak 57% berasal dari produksi makanan hewani, 29% berasal dari produksi makanan nabati, dan sisanya sebanyak 14% dari aktivitas lainnya.
Dengan kata lain, bahan pangan yang berasal dari produksi makanan hewani berkontribusi dua kali lipat terhadap pemanasan global jika dibandingkan dengan produksi makanan bersumber dari tanaman.
Dalam produksi pangan, empat sektor yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca adalah peternakan (31%), pertanian (27%), penggunaan lahan pertanian (24%), dan rantai pasokan makanan (18%).
Menurut Poore dan Nemecek (2018), makanan yang menghasilkan jejak karbon terbesar adalah daging sapi potong. Dalam satu kilogram daging menyumbang emisi sebanyak 60 kg CO2e. Selanjutnya, daging domba dan kambing menghasilkan emisi sebanyak 24 kg CO2e per kilogram dagingnya. Sedangkan satu kilogram keju dan daging sapi perah menghasilkan emisi sebesar 21 kg CO2e.
Sementara daging ayam menghasilkan emisi yang lebih rendah, dengan satu kilo daging ayam menghasilkan emisi sebesar 6 kg CO2e. Makanan yang berasal dari tumbuhan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sumber pangan hewani.
Gas Metana
Produk daging sapi potong menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi karena kontribusi gas metana yang ditimbulkan. Selain dari produksi gas alam dan minyak bumi, gas metana (CH4) dihasilkan dari pembusukan limbah organik dan dikeluarkan oleh ternak ruminansia, terutama hewan memamah biak seperti sapi.
Sektor peternakan khususnya ternak ruminansia berkontribusi menghasilkan gas metana di atmosfer. Ini berdampak besar terhadap perubahan iklim. FAO melaporkan, bahwa sektor peternakan berkontribusi setidaknya sekitar 30% dari total emisi gas metana secara global.
Human Society International (2014) memperkirakan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun, gas metana mempunyai angka Global Warming Potential sebesar 25 kali lipat dibandingkan karbondioksida (CO2). Hal ini berarti bahwa metana yang dihasilkan dari peternakan ruminansia mempunyai dampak yang lebih besar jika dibandingkan dengan CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Pergeseran Menu
Di Indonesia, konsumsi daging sapi mencapai 2,2 kg per kapita. Hal ini termasuk rendah dari rata-rata konsumsi dunia yang sebesar 6,4 kg per kapita. Konsumsi daging nasional pada tahun 2021 sebesar 717.750 ton per tahun, sementara produksi daging sapi dalam negeri hanya sebesar 437.783 ton per tahun.
Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan daging sapi, pemerintah melakukan impor daging beku sebesar 279,97 ribu ton per tahun. Negara-negara maju seperti Amerika, China, dan Uni Eropa menjadi negara dengan konsumsi daging sapi terbesar. Meskipun di Indonesia konsumsi daging sapi termasuk rendah, akan tetapi sumbangan jejak karbon dari impor daging juga tidak dapat diabaikan.
Selain karena alasan kesehatan, pertimbangan kontribusi individu dalam menekan pemanasan global dapat dilakukan dengan pemilihan jenis makanan. Di banyak negara maju seperti di negara-negara Eropa, tingginya jejak karbon yang ditimbulkan oleh makanan dari daging sapi atau daging merah memicu pergeseran pemilihan menu makanan menjadi menu yang lebih sehat dan memiliki jejak karbon lebih rendah.
Bahkan, banyak yang beralih menjadi vegetarian dan vegan, salah satunya adalah karena alasan ingin berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan.
Makanlah dengan Bijak
Bahan pangan yang dikonsumsi akan mempengaruhi jejak karbon yang dihasilkan. Lantas, langkah apa yang bisa disumbangkan untuk lingkungan melalui pemilihan makanan?
Ada berbagai cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menurunkan jejak karbon dari makanan. Diantaranya ialah dengan mengurangi makanan yang berasal dari daging merah dan mengurangi produk susu. Beralihlah kepada daging ayam dan telur, atau memperbanyak konsumsi protein nabati.
Selanjutnya jangan menyisakan dan memboroskan makanan. Konsumsilah bahan pangan lokal dan memilih bahan makanan segar daripada makan kemasan atau makanan yang sudah diproses.
Yang tak kalah sarankan lagi, tanamlah bahan makanan yang bisa ditanam sendiri di pekarangan atau di lingkungan rumah, serta perbanyak konsumsi makanan berserat (sayur dan buah).
Nampaknya sederhana, tapi langkah-langkah tersebut kita bisa bermanfaat dan berdampak nyata jika dilakukan bersama-sama oleh banyak manusia. Mari bersama-sama menjaga bumi dan merawat lingkungan dengan memperhatikan apa yang tersaji dari sepiring makanan yang disantap.
*)Periset pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)