Mangrove dan Tambak: Dua Harapan di Sungai Pasir

Upaya mitigasi dengan penanaman mangrove setidaknya memberi harapan bagi warga Desa Sungai Pasir – Kotawaringin Barat (Kalteng) yang beraktifitas sebagai nelayan dan petani tambak udang serta ikan.

SUNGAI Pasir, desa di paling ujung Kabupaten Sukamara dan berbatasan dengan Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah itu, berada di pesisir laut lepas Jawa. Mayoritas masyarakatnya memiliki penghasilan dari hasil alam , mulai dari hasil laut, pertanian, maupun peternakan.

Tambak udang dan ikan di Desa Sungai Pasir, Kotawaringin Barat (dok; Indri)

Seperti layaknya daerah pesisir, Sungai Pasir memiliki kawasan mangrove yang membentang di sepanjang pantai. Mangrove ini ditumbuhi beragam jenis tumbuhan penahan arus laut terutama bakau. Jenis Api-api (Avicennia Alba) merupakan jenis bakau yang paling banyak ditemui di daerah ini.

Mangrove bagi masyarakat Sungai Pasir, selain sebagai penahan derasnya pasang air laut juga dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi oleh sebagian besar masyarakatnya. Mangrove diubah menjadi tambak-tambak ikan dan udang. Hasilnya lumayan tinggi.

Tambak Ikan dan Udang

Masyarakat di Sungai Pasir mulai mengenal budidaya tambak pada tahun 1993. Tambak pertama kali dikenalkan oleh ‘Orang Jawa’ yang datang dan menetap di Sungai Pasir. ‘Orang Jawa’ mulai mengenalkan tambak kepada masyarakat Sungai Pasir, dan kemudian masyarakat memberikan sebagian lahan mangrovenya untuk dijadikan tambak bandeng dan udang.

Tambak-tambak itu dibangun oleh masyarakat secara tradisional. Lokasinya berada di sepanjang pantai Desa Sungai Pasir. Tambak dibangun dengan cara membersihkan lahan mangrove yang berada 150 meter dari garis pantai. Setiap satu blok tambak berukuran kurang lebih 2 hektar.

Bibit udang dan bandeng yang dibudidayakan berasal dari daerah pulau Jawa. Tidak hanya itu, masyarakat juga memiliki inovasi lain dengan menanam beragam jenis sayuran di sepanjang pematang tambak.

Ancaman Abrasi

Sekitar 10 tahun belakangan, mangrove di Desa Sungai Pasir mengalami perubahan. Garis pantai yang dulunya berjarak 150 meter dari tambak masyarakat berkurang sangat banyak. Kini jarak garis pantai dengan tambak masyarakat hanya bersisa 10 meter. Bahkan pada tambak yang pertama kali dibangun, yaitu tambak yang dulunya paling dekat dengan garis pantai, sudah habis diterjang pasang air laut.

Tidak hanya itu, tambak-tambak lain juga mulai terkikis akibat abrasi pantai yang kian parah. Masyarakat yang kehilangan tambaknya terpaksa alih profesi, sebagian ada yang mengolah kebun, menjadi tukang bangunan, hingga kerja serabutan.

Mangrove dan Mitigasi

Belum lama ini, Kepada Desa Sungai Pasir bersama kelompok tani ‘Tertuntum Beruntung’ melakukan upaya penanaman mangrove dalam rangka mengurangi abrasi pantai. Seperti yang dilansir Palangkaraekspres, kelompok tani di Desa Sungai Pasir mendapat bantuan bibit kurang lebih sebanyak 128.000 bibit yang ditanam di lahan seluas 39 hektar.

Meskipun upaya penanaman tersebut belum memiliki bukti keberhasilan yang tinggi, namun masyarakat di Desa Sungai Pasir telah memiliki upaya bersama untuk dapat mempertahankan wilayah desanya dari abrasi. Setidaknya, dengan penanaman mangrove kini terbentang harapan, pantai, pemukiman dan masa depan penduduk akan lestari dan terjaga dari terjangan air laut.***

Indri Novia

Redaksi Green Indonesia