Ini kabar baru dan baik, khususnya dalam pemantauan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Namanya ‘Himawari-9’.
SELAMA ini info titik api diperoleh dari hasil perekaman oleh satelit Terra/Aqua (MODIS), NOAA, dan Suomi-NPP. Kini hal itu –mungkin– sudah dianggap ketinggalan zaman alias agak kuno.
Mengapa? Karena, memang, ketiga satelit ini merupakan satelit orbital yang dapat mencakup seluruh Negara. Namun waktu perekamannya rendah, yaitu setiap 12-24 jam di lokasi yang sama, sehingga tidak bisa melihat pergerakan api secara terkini. Alhasil, maaf, jika bisa saja terjadi kasus ‘telmi’ (telat mikir) apalagi bertindak cepat dalam pencegahan karhutla.
Geostasioner
Hotspots atau titik api merupakan salah-satu info dari satelit yang digunakan sebagai sistem peringatan dini kejadian kebakaran hutan dan lahan. Selama ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan info hotspot yang bersumber dari ketiga satelit yang disebutkan tadi, yakni;Terra/Aqua (MODIS), NOAA, dan Suomi-NPP.
Namun kini, kemajuan teknologi berkembang pesat. Salah satunya adalah keberaadaan satelit geostasioner (satelit yang tidak bergerak) yaitu Himawari 8 dan 9.
Indonesia merupakan salah satu negara yang beruntung karena masuk kedalam cakupannya. Selain itu, data-data hotspots dari satelit ini bersifat open source. Himawari 8 dan 9 memiliki kelebihan dari waktu perekamannya, yaitu setiap 10 menit.
Satelit Himawari 8 dan 9 dapat dimanfaatkan dalam monitoring perambatan atau pergerakan kebakaran hutan dan lahan. Satelit ini dapat merekam kebakaran yang tidak dapat direkam oleh satelit orbital.
Di Indonesia satelit ini dapat dimanfaatkan untuk mengetahui apakah api berasal dari berbagai sumber yang berbeda, ataukah hanya perambatan api yang berasal dari satu sumber saja. ***
Ajiz Saidul Hamzah