Uwi, Pangan Alternatif yang Terlupakan

Oleh: Fauziah*)

Salah satu umbi-umbian yang memiliki potensi pangan dengan kandungan nutrisi yang cukup baik adalah uwi. Disamping itu, tanaman ini juga memiliki beberapa keunggulan komparatif…

ISU ketahanan pangan dan nutrisi sampai saat ini masih menjadi perhatian di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Tahun 2022, data Global Food Security Index (GFSI) menunjukkan, bahwa ketahanan pangan Indonesia mengalami peningkatan menjadi 60,2 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya di masa pandemi, dengan menempati urutan keempat.

Sebagai negara agraris, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lahan pertanian, nyatanya dalam hal ketahanan pangan Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia dan Vietnam.

Tentu saja tolok ukur indeks ketahananan pangan tidak diukur berdasarkan luasan wilayah geografis, namun dinilai berdasarkan empat indikator. Diantaranya keterjangkauan harga pangan (affordibility), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Secara umum dari keempat indikator ini, Indonesia memiliki nilai keterjangkauan harga pangan (affordibility) yang cukup baik dibandingkan negara-negara lain di ASEAN. Namun hal ini tidak diikuti oleh ketiga indikator lain, terutama terkait indikator keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation) yang memiliki poin terendah.

Dukung Ketahanan Pangan

Berbagai upaya dalam meningkatkan ketahanan pangan perlu dilakukan. Upaya tersebut meliputi diversifikasi pangan, pengembangan potensi pangan lokal, serta penguatan kebijakan dalam memastikan produksi pertanian terlindungi dari dampak perubahan iklim. Dengan upaya tersebut diharapkan akan berdampak pada peningkatan dan kemajuan ketahanan pangan di Indonesia.

Program diversifikasi pangan merupakan salah-satu upaya yang penting untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi. Namun realitanya, pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan belum mendapat perhatian yang cukup serius. Masyarakat masih saja bergantung pada beras sebagai sumber bahan pangan utama.

Upaya identifikasi atas segala jenis tanaman pangan yang dapat dijadikan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan telah banyak dilakukan, terutama untuk jenis-jenis tanaman yang dapat mendukung program diversifikasi pangan. Sehingga dengan mengetahui jenis-jenis tanaman pangan dan potensinya, diharapkan mampu membantu mencukupi mutu dan gizi makanan. Selain itu, diharapkan dapat mengembangkan potensi pendapatan masyarakat yang dapat mendukung aspek pangan yang terjangkau.

Beberapa jenis tanaman pangan yang menjadi target sasaran pelaksanaan diversifikasi pangan antara lain jenis umbi-umbian. Salah satu umbi-umbian yang memiliki potensi pangan dengan kandungan nutrisi yang cukup baik adalah uwi.

Uwi yang bernama latin Dioscorea alata umumnya lebih dikenal dengan nama daerah uwi (Jawa), huwi (Sunda), lame (Sulawesi), obi (Madura), lutu (Kepulauan Maluku). Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ”greater yam”, ”water yam”, dan ”ten-months yam”.

Uwi menempati peringkat keempat setelah kentang, singkong, dan ubi jalar sebagai umbi-umbian terpenting di dunia. Tumbuhan ini menyumbang 10 persen produksi umbi di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis.

Umbi uwi telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat oleh masyarakat Indonesia, terutama di daerah Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Jawa sebagai pengganti atau tambahan beras/sagu pada musim kemarau/paceklik.

Namun sayangnya semakin tahun, hanya tersisa generasi tua yang masih mampu mengenali tanaman uwi dan mengkonsumsinya. Bahkan saat ini keberadaan tanaman uwi telah jarang ditemukan dan hampir dilupakan masyarakat sehingga menjadi tanaman minor (terabaikan dan kurang termanfaatkan).

Eksplorasi Uwi

Sebagai upaya dalam penyelamatan dan pencegahan hilangnya sumber plasma nutfah uwi, maka BRIN, dalam hal ini diwakilii Kebun Raya, melakukan upaya eksplorasi, inventarisasi dan konservasi terhadap tanaman tersebut. Hal ini disebabkan karena uwi diketahui memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi.

Hasil eksplorasi terhadap plasma nutfah uwi di Jawa Timur saja menunjukkan setidaknya sekitar lima puluh aksesi (kultivar) uwi telah dikonservasi secara eksitu di Kebun Raya, antara lain uwi Kelopo, uwi Putih, uwi Jaran, uwi Sego, uwi Perti, uwi Bangkulit, uwi Ireng, uwi Alas, uwi Klelet, uwi Randu, uwi Senggrani, uwi Bangkong, uwi Ndoro, uwi Dursono, dan lain-lain.

Selain itu, upaya seleksi terhadap beberapa aksesi uwi yang berpotensi nutrisi tinggi juga dilakukan, sehingga ini dapat menjadi informasi awal bagi masyarakat dalam pemanfaatan dan pengembangan plasma nutfah uwi ke depannya.

Potensi Besar

Kandungan nutrisi per 100 gram umbi segar meliputi karbohidrat (17,10 – 29,37 persen), protein (1,29 – 3,00 persen), lemak (0,00 – 0,29 persen), serat (6,70 – 11,62 persen) dan abu (0,85 – 1,44 persen). Dengan demikian uwi berpotensi besar dan strategis sebagai alternatif bahan pangan sumber karbohidrat dan protein di masa mendatang.

Selain berpotensi pangan, beberapa aksesi lokal uwi diketahui juga memiliki manfaat untuk kesehatan karena mengandung lendir kental yang terdiri dari glikoprotein dan polisakarida larut air, di mana keduanya merupakan bahan bioaktif yang berfungsi sebagai serat pangan larut air dan bersifat hidrokoloid yang bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan kadar total kolesterol, terutama kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein).

Selain memiliki potensi nutrisi pada bagian umbinya, ternyata uwi juga memiliki beberapa keunggulan komparatif. Antara lain; relatif toleran terhadap naungan, kekeringan, bahkan toleran tumbuh pada tanah yang miskin hara (lahan bera atau tidak produktif) dan suhu rendah, daya adaptasi yang luas pada berbagai ketinggian tempat, dan memiliki masa simpan umbi uwi yang cukup lama pascapanen.

Budidaya uwi dapat dilakukan pada lahan agroforest sebagai tanaman sela/tumpang sari dengan tanaman keras, terkadang juga hanya ditanam sebagai tanaman pagar. Bahkan, di salah satu daerah di Jawa Timur, uwi juga dibudidayakan di lahan lebak dengan pola monokultur atau tumpangsari dengan tanaman padi, jagung, cabai, dan terong.

Tanaman uwi dapat tumbuh optimum pada tanah yang gembur dan tidak banyak memerlukan air bila dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, dengan bobot 2-8 kilogram per umbi. Namun, sayangnya dengan berbagai keunggulan potensi nutrisi dan kemudahan budidaya pada uwi, belum menjadikan uwi sebagai tanaman populer dan bernilai ekonomi tinggi.

Rendahnya minat masyarakat dalam membudidayakan dan mengonsumsi uwi disebabkan karena kurangnya informasi mengenai nilai nutrisi dan potensi uwi sebagai bahan pangan alternatif. Padahal, jika menilik potensi pemanfaatan uwi di negara-negara maju seperti Jepang, umbi uwi memiliki nilai ekonomi tinggi dan bahkan telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan mi, es krim, dan campuran pengental sup.

Ke depan, usaha pengembangan budidaya dan pemanfaatan umbi uwi diharapkan dapat lebih meningkat di Indonesia. Dengan berbagai keunggulan nutrisi dan budidaya yang dimiliki, sudah sepatutnya budidaya uwi terus dilakukan, tidak hanya dalam skala penelitian namun dapat berkembang menjadi skala lebih besar. Sehingga dengan budidaya yang optimal akan dapat meningkatkan produktivitas dan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk diversifikasi pangan.

Dukungan dari berbagai pihak tentu saja sangat diperlukan, baik dari masyarakat, lembaga-lembaga riset serta stake holder terkait. Agar program diversifikasi tidak sekedar menjadi wacana saja dari tahun ke tahun. Sehingga bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa yang mandiri pangan dengan tidak bergantung pada komoditas beras saja, namun dapat memanfaatkan sumber plasma nutfah lainnya. (*)

*) Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan-BRIN

Redaksi Green Indonesia