Pihak yang mengemisi lebih dari cap harus membeli ijin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap, atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon). Di sinilah, jual-beli barang yang ‘tak kasat mata’ itu berlangsung.
INI sesuatu yang baru, yakni peluang ekonomi baru dari jasa lingkungan, yaitu ‘ekonomi karbon’. Perdagangan karbon semakin merebak. Menguntungkankah..?
Pertanyaan ‘memancing” itu disampaikan Dr. A. Faroby Falatehan, Dosen Departemen Ekonomi sumberdaya dan Lingkungan (ESL) IPB University di depan 40 perserta Pelatihan Validator dan Veifikator GRK Sektor FOLU dan Energi, di Bogor, Minggu (19/03).
Dikatakannya, sejak beberapa waktu terakhir, berbagai pihak berbondong-bondong untuk merawat tumbuhan dan melestarikan hutan. “Ini positif,” ucap Faroby.
Dikatakannya, Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. 17.000 pulau dan rentan akan risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut. Emisi GRK nasional pada 2010 – 2018 mengalami tren 4,3% per tahun, sementara Permukaan laut pun naik 0,8 – 1,2 cm/ tahun, dimana 65% masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir.
Disamping itu, risiko bencana hidrometeorologi mencapai 80% dari total bencana di IndonesiaPotensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% sd 3,45% PDB pada tahun 2030. Menakutkan.
Namun disamping isu menakutkan itu, terbentang peluang ekonomi dan bisnis. G20 telah mendorong komitmen negara-negara pada isu perubahan iklim, termasuk untuk phasing out subsidi atas fossil fuels. G20 finance track juga membentuk Sustainable Finance Working Group (SFWG)
Pada COP-26 bulan November 2021, pendanaan iklim merupakan salah satu tema utama untuk mewujudkan Net Zero Emissions secara global di tahun 2050. Carbon pricing menjadi instrumen yang diandalkan dan dipromosikan dalam berbagai forum. Lalu dana-dana yang memperhatikan prinsip ESG dalam kegiatan investasinya pun meningkat pesat sejak 2020.
Pada 22 Februari 2023 lalu, di Indonesia telah diakukan pula Launching Perdagangan Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Lalu ada pula ketentuan bahwa entitas yang mengemisi lebih dari cap, diharuskan membeli ijin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap, atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon). Di sinilah, jual-beli barang yang ‘tak kasat mata’ itu berlangsung.
Pasar Karbon
Menurut Faroby, makna istilah “pasar karbon” sebenarnya sedikit salah kaprah dan mudah memicu kesalahpahaman. Contohnya, masih banyak masyarakat yang mengira karbon yang menjadi komoditas pasar dimaksud adalah arang (charcoal) dan bukan karbon dioksida (CO2). Faktanya, bahkan karbon dioksida pun bukan satu-satunya komoditas yang diperdagangkan dalam suatu pasar karbon.
Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 equivalent). Yaitu berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca.
Sedangkan jenis gas rumah kaca yang dapat diperdagangkan dalam pasar karbon umumnya adalah enam jenis gas rumah kaca yang tercantum dalam Protokol Kyoto1, yang meliputi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).
Faroby pun menjelaskan soal pasar karbon sukarela (voluntary carbon market). Dikatakannya, bahwa permintaan (demand) pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara si empunya keinginan dengan penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter).
Sementara itu, perdagangan karbon juga terbentuk akibat adanya ketentuan – yang mewajibkan. Hal ini berlatar belakang semakin rusaknya alam, serta ancaman perubahan iklim.
***Riz***