Kentongan; Antara Budaya dan Konservasi Biodiversity

Pelestarian kentongan dapat dimaknai sebagai salah satu upaya penyelamatan nilai budaya dan konservasi keanekaragaman hayati.

THEK thek thek, …dhung…dhuung…. Bunyi itu nyaris tak terdengar lagi di zaman modern sekarang ini.

Dulu, suara kentongan dan bedug selalu terdengar di masjid atau surau-surau sebagai penanda waktu sholat. Saat tengah malam, sering pula terdengar suara kentongan dari rumah-rumah warga yang menandakan bahwa mereka sedang terjaga dari tidurnya.

Kini, kita dapat mendengar tabuhan bedhug bertalu-talu hanya pada waktu-waktu tertentu saja, seperti saat memeriahkan malam takbiran di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Sebagai alat komunikasi tradisional, kentongan memiliki kelebihan dalam menjaga pola hidup kebersamaan yang jauh dari sikap egois, mampu menjadikan masyarakat saling menghargai, dan peduli satu dengan lainnya. Bunyi-bunyian yang berasal dari bambu atau kayu berongga itu, dipukul untuk menyatakan tanda waktu, bahaya atau mengumpulkan massa.

Tradisi Kentongan

Sebagian masyarakat tradisional di Jawa, Bali, dan Lombok masih memiliki kentongan pribadi dengan panjang 40–70 cm. Sementara kentongan untuk umum maupun peribadatan biasanya berukuran lebih besar dan lebih panjang. Bentuk fisiknya ada yang polos dan ada yang berukir.

Kentongan polos banyak digunakan pada fasilitas umum terutama di Jawa, sedangkan di Bali lebih banyak menggunakan kentongan berukir (hias), sekaligus difungsikan untuk menarik wisatawan.

Nilai Sosial & Religius

Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, benda ini merupakan sarana informasi peristiwa tertentu, undangan, hiasan, alat musik, dan pembukaan suatu acara. Penggunaan kentongan dalam keperluan sosial mudah dikenali dari nada dan tempo yang dibunyikan.

Ketukan dengan tempo perlahan menandakan bahwa kondisi aman, misalnya kentongan yang dibunyikan oleh petugas jaga di pos-pos ronda. Lalu nada dengan tempo cepat (‘gobyok/titir’) tanpa jeda merupakan pertanda adanya bahaya yang datang, misalnya bencana alam seperti banjir, angin topan, kebakaran, tanah longsor, dan kedatangan hewan buas. Masing-masing peristiwa menggunakan irama dan jumlah pukulan yang berbeda.

Kearifan lokal masyarakat di sekitar Sungai Krasak (lereng Gunung Merapi) dikenal dengan nama ‘lampor, yaitu informasi peringatan dini dengan memukul kentongan bila dusun yang berada paling atas mengalami kebanjiran.

Nilai sosial lainnya adalah sebagai sarana mengundang seseorang atau masyarakat untuk mendatangi tempat dan kegiatan tertentu, misalnya gotong-royong, “kenduren” untuk memperingati hari-hari besar, rapat kampung, dan posyandu. Masyarakat Bali umumnya menggantung dua “kulkul” pada bale “kulkul” yang mencerminkan laki-laki dan perempuan. Apabila suatu kegiatan hanya akan mengundang peserta perempuan, maka yang dibunyikan “kulkul” beridentitas perempuan, begitu pun sebaliknya, dan kalau mengundang laki-laki dan perempuan maka kedua “kulkul” harus dibunyikan.

Sedangkan nilai religiusnya seperti pada tempat ibadah. Masjid misalnya, atau di pura-pura pada masyarakat Bali.

Kentongan di masjid biasanya dilengkapi dengan “bedhug” yang diletakkan berdekatan, karena pada saat tertentu keduanya akan dibunyikan bergantian sebagai penanda waktu sholat. Di Bali, “kulkul” digantung pada pohon kamboja di dekat atau halaman kuil. “Kulkul sekaha” dipukul untuk mengumpulkan massa pada suatu kegiatan bersama, misalnya berkaitan subak atau upacara keagamaan.

Kentongan dan Konservasi

Kentongan biasa dibuat dari bahan bambu dan kayu. Pertimbangan khusus diperlukan, antara lain dari segi keawetan dan suara yang dihasilkan.

Jenis bambu dan kayu yang biasa dijadikan kentongan cukup beragam. Diantaranya ialah bambu ori (Bambusa spinosa Roxb.; Poaceae), bambu petung (Dendrocalamus asper (Schult.) Backer; Poaceae), bambu apus (Gigantochloa apus (Schult.f.) Kurz ex Munro; Poaceae) dan bambu wulung/hitam/gombong (Gigantochloa atroviolacea Widjaja; Poaceae).

Sementara jenis kayu yang bisa dijadikan kentongan meliputi; kayu nangka/ketewel (Artocarpus heterophyllus Lam.; Moraceae), kayu jati/teges (Tectona grandis L.f.; Lamiaceae), kayu kelapa (Cocos nucifera L.; Arecaceae), kayu mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq.; Meliaceae) dan kayu sengon (Albizia chinensis (Osbeck) Merr.; Fabaceae)

Kentongan dari bongkol bambu akan menghasilkan suara yang lebih nyaring, dapat dibuat dalam beragam bentuk, dan lebih awet dibandingkan dengan yang terbuat dari batang. Bagian bongkol bambu biasanya lebih tebal dan keras sehingga dapat dibentuk sesuai keinginan. Dalam Bahasa Jawa kentongan seperti ini disebut ‘thethekan’.

Di Bali, biasanya kentongan terbuat dari batang kayu. Kentongan kayu dapat dibuat beragam bentuk seperti bentuk ikan, tubuh orang, dan kepala raksasa.

Nilai yang terkandung dalam konsep konservasi diantaranya adalah menanam, memanfaatkan, melestarikan dan mempelajari. Pelestarian kentongan dapat dimaknai sebagai salah satu upaya penyelamatan nilai budaya dan konservasi keanekaragaman hayati. Untuk itu bahan baku pembuatan kentongan perlu terus dilestarikan, serta dimanfaatkan secara bijak tanpa merusak lingkungan.

Kebijakan pembangunan pun, sebaiknya tidak melupakan konservasi. Sehingga keanekaragaman hayati dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Kentongan misalnya, semoga tak sekedar menjadi cerita di masa lalu….yang keberadaannya hanya akan dapat dijumpai sebagai artefak di museum.

(Marwan Setiawan dan Emma Sri Kuncari. Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN)

***Riz***

Redaksi Green Indonesia