Mengintip Peluang Ekonomi Karbon

Potensi Implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia cukup menggiurkan.

GAIRAH baru terasa di PKH Lakitan, Bukit Cogong – Sumatera Selatan 8 Juni lalu, manakala salah-seorang pembicara pelatihan menyampaikan peluang nilai ekonomi karbon.

I Wayan Susi Dharmawan

Adalah I Wayan Susi Dharmawan, Peneliti pada Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan – Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (BRIN) yang memaparkan tentang Penghitungan Forest Reference Level/Forest Reference Emission Level (FRL/FREL) di hadapan para peserta pelatihan itu.

“Kenapa diperlukan FRL/FREL?. Karena menjadi acuan dalam menilai prestasi capaian    penurunan emisi,” jelas pembicara itu.

Lebih lanjut Wayan menjelaskan bahwa FRL/FREL bisa digunakan dalam konteks perdagangan karbon (perdagangan emisi dan offset emisi). Dikatakannya, ada pemindahan hak atas karbon serta pembayaran berbasis kinerja penurunan emisi.

Menurutnya, ada empat opsi yang dipertimbangkan untuk menetapkan FREL Nasional Indonesia dengan menggunakan data historis tutupan lahan. Yakni dengan metode Historis Emisi, metode Penyesuaian Historis (Historical Adjusted Method), metode Non-Parametrik Prediksi ke Depan, dan metode Parametrik Prediksi ke Depan. Setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pilihan yang diambil harus berdasarkan pertimbangan yang komprehensif. “Indonesia, dengan pendekatan pedoman IPCC, menggunakan opsi pertama (Historical Emission Method),” kata Wayan.

Ditambahkannya bahwa Metode Emisi Historis merupakan model empiris yang ideal untuk FREL Indonesia saat ini.

Peluang Ekonomi

Seperti diketahui, bahwa dewasa ini ada perdagangan karbon atau perdagangan emisi dan offset emisi. Seperti diungkapkan Wayan, bahwa pembayarannya berbasis kinerja, pungutan atas karbon, atau mekanisme lainnya sesuai perkembangan IPTEK.

Peluang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) tentunya berkaitan dengan upaya penurunan emisi dan ekonomi hijau yang sejak beberapa waktu belakangan ‘berhembus’ di Indonesia. Dengan adanya NEK, akan ikut mendorong peningkatan kinerja capaian penurunan NDC Indonesia.

“Ketua Dewan Komisioner OJK menyebut pelaku usaha yang berkomitmen mendukung ekonomi hijau akan mendapatkan insentif, salah satunya insentif fiskal. Insentif yang diberikan diantaranya berupa fasilitas pembiayaan kredit untuk sektor ekonomi hijau dengan bunga yang lebih rendah,” tutur Wayan.

Dijelaskannya bahwa, untuk mendukung ekonomi hijau, OJK juga telah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia. Hal ini dapat menjadi pedoman untuk mengklasifikasikan aktivitas ekonomi untuk mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.

“Dengan diluncurkannya Taksonomi Hijau Indonesia ini, Indonesia merupakan salah-satu negara di dunia yang telah memiliki standar nasional sektor ekonomi hijau, sehingga secara tidak langsung meningkatkan daya saing Indonesia untuk menjadi pusat pengembangan ekonomi hijau secara global,” ungkap I Wayan Susi Dharmawan.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *