Ujung (sisi) kebun kopi di lereng-lereng bukit itu, selama ini dijuluki kawasan ‘kopi sajajar’ oleh warga Sukawangi, yang sekaligus mereka yakini sebagai batas wilayah hutan dengan desa atau pemukiman.
Saat disuguhi secangkir kopi di rumah kerabat, di Kampung Arca – Sukawangi Bogor beberapa waktu lalu, GI terkecoh. Bukan hanya aroma, tapi citarasa pun, nyaris seperti kopi dari dataran tinggi Gayo nun jauh di sana, di ujung Sumatera.
Dodo, sipenyuguh kopi, tersenyum. Dia membuyarkan anggapan itu.
“Ini kopi Arca,” ucapnya bangga. Dikatakan bahwa dirinya menggarap hasil panen petani Puncak Dua itu mulai dari seleksi biji, pengeringan dan fermentasi, hingga roasting. Sehingga dihasilkan bubuk kopi berkelas, yang tidak kalah dibanding kopi nusantara lainnya, seperti kopi Aceh atau Toraja. Disamping itu, memang, kawasan Puncak Dua Bogor, khususnya Desa Sukawangi, sudah lama kesohor sebagai penghasil kopi berkualitas di Tatar Sunda, sejak jaman penjajahan Belanda dulu.
Sebagai pelaku bisnis kopi, Dodo sebenarnya sudah layak menyandang prediket barista. Berbekal pelatihan yang pernah diikutinya, putera asli Arca itu mampu menghasilkan beragam citarasa dari satu jenis kopi yang sama. Namun Dia menolak disebut ‘barista’. Alasannya, karena mahalnya biaya untuk menebus sertifikat. Selain itu, dengan bekal keahlian mengolah kopi yang dimiliki, Dodo pun merasa cukup, kaena sudah bisa berbisnis dengan memasok hasil olahannya (bubuk) ke berbagai resto kopi terkenal di Bogor dan Jakarta.
Banyak Nama
Kopi Gunang Arca, Kopi Catang Malang, ataupun Kopi Sukawangi, semuanya adalah sama. Asalnya dari perkebunan rakyat di Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur – Bogor Timur.
Meski secara umum, dalam percaturan kopi nasional belum begitu terdengar, namun kopi dari jalur Puncak Dua Bogor itu sudah kesohor di mancanegara. Beberapa pencinta kopi di Belanda, Perancis dan negara Eropa, seperti disebutkan di sejumlah mediamassa, sangat menyukai kopi Sukawangi.
Desa Sukawangi, memang menjadi salah-satu penghasil komoditas kopi robusta dan arabika dengan rasa terbaik. Biji kopi yang dihasilkan di daerah ini memiliki tingkat kekentalan yang ringan, keasaman yang seimbang, dan aroma harum yang khas.
Uniknya, kopi arabika asal daerah itu memiliki 9 cita rasa, diantaranya rasa strawberry, gula aren, jeruk nipis, pisang, nangka dan lainnya. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil penelitian dari barista kopi asal Jerman belum lama ini. Atas dasar itulah, seperti disebutkan tadi, Dodo bisa menyajikan kopi dalam beragam rasa.
Pada Maret 2019, kelompok tani Catang Malang – Sukawangi mengikuti “The Amsterdam Coffee Festival” di Kota Amsterdam Belanda. Penikmat kopi di negara itu pun antusias. Tak hanya itu, di bulan Oktober 2018 Kopi Catang Malang mendapatkan penghargaan di ajang Silver dan Bronze Gourmet oleh Agency for the Valorisation of Agricultural Products (AVPA) yang memamerkan produk pertanian seluruh dunia di Paris, Perancis.
Namun, potensi besar itu tidak didukung dengan infrastruktur jalan yang memadai. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor terkesan kurang peduli dengan potensi itu. Lihat saja, jalan akses menuju Desa Sukawangi kurang memadai, sehingga menghambat mobilitas masyarakat khususnya petani kopi. Tak hanya itu, kerusakan jalan juga membuat wisatawan yang berniat berburu kopi khas Bogor sambil menikmati keindahan alam, berpikir dua kali berkunjung lagi ke desa yang berbatasan dengan Kabupaten Cianjur itu.
Kopi Sajajar– Jalan Padati
Desa berhawa sejuk (1000-1200 mdpl), dengan panorama alam nan indah serta banyak curug (air terjun) itu memiliki perkebunan kopi yang cukup luas, yaitu sebesar 544 ha dari total 1.700 ha luas Desa Sukawangi. Berdasarkan informasi, masing-masing petani rata-rata memiliki lahan perkebunan kopi seluas minimal satu ha. Dalam setahun, para petani tersebut mampu menghasilkan satu ton biji kopi/ha.
Kebun kopi tersebut merupakan salah-satu komoditas warga Sukawangi sebagai masyarakat desa sekitar hutan. Ujung (sisi) kebun kopi di lereng-lereng bukit itu, selama ini kerab dijuluki kawasan ‘kopi sajajar (sejajar-red)’ oleh warga Sukawangi. Berdampingan sepanjang kopi sejajar, melintas jalan tua (tinggal sisa/jejak) di sepanjang pinggiran hutan yang dijuluki ‘jalan padati (pedati-red)’.
“Setahu saya, sejak leluhur kami dulu, disitulah batas wilayah hutan dengan desa atau pemukiman,” tutur seorang warga pada pertemuan Forum Komunikasi Warga Sukawangi (FKWS) terkait kasus tenurial dengan Perhutani, di Kampung Babakan Banten – Sukawangi (Jumat, 05/02/21). Sambil ngopi sore, tak kurang dari 70-an warga Sukawangi hadir dalam kesemptan itu. Mereka menyamakan persepsi, untuk bangkit bersama (kompak) memperjuangkan tanah adat yang –katanya– telah diulayati selama puluhan tahun.
Beberapa diantara warga terkesan keras dan agak ’frontal’ dalam bersuara. “Ayo gelut (perang-red),” terdengar teriakan sebagian warga. Namun para pengurus FKWS mengingatkan agar tidak bertindak emosi, tapi tetap semangat.
***Riz***
No comment