75 TAHUN KEMERDEKAAN MENGGUGAT NASIONALISME KEHUTANAN

Oleh :

Agung Nugraha

Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute

Fakta menujukkan satu hal tak terbantahkan. Bahwa nasionalisme kehutanan hari ini patut dipertanyakan. Bahkan pantas digugat. Minimnya “perjuangan” dan tipisnya “pengorbanan” korps rimbawan di berbagai bidang pengabdian. Demi kelestarian hutan dan kesejahteraan rakyat. Sungguh miris. Bahkan ironis.

Diskursus tentang nasionalisme menemukan momentum paling tepat dalam beberapa hari belakangan. Ya, ditengah peringatan 75 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.

Membahas paham cinta tanah air ditengah kepungan arus deras globalisasi hari ini memang menemukan relevansi. Sejauh mana warga negara memegang dan menegakkan nasionalisme. Lebih jauh, setiap individu warga negara selayaknya mengembangkan sikap nasionalisme sesuai profesi. Apapun itu. Tak terkecuali sebagai rimbawan. Tentu nasionalisme di bidang kehutanan.

Nasionalisme kehutanan ? Tepat sekali. Sebuah tema yang –barangkali- tak pernah tersentuh. Jangankan memperjuangkan. Terpikirkan pun mungkin tidak.

Disinilah tema nasionalisme kehutanan penting diungkapkan. Ada banyak hal yang bisa dikaji sekaligus konsekuensi terhadap sikap dan perilaku rimbawan. Pada akhirnya berdampak pula pada perkembangan dan kemajuan sektor kehutanan. Dalam dialektika pemikiran maupun praksis pembangunan. Sebagai pengejawantahan perjuangan mengisi kemerdekaan. Pasca Proklamasi 75 tahun kemerdekaan.

Nasionalisme Kehutanan

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap warga negara dituntut memiliki sikap nasionalisme. Juga patriotisme. KBBI -Kamus Besar Bahasa Indonesia- menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.  Rasa nasionalisme dikaitkan pada rasa cinta dan peduli terhadap budaya hingga tatanan di suatu negara. Sementara patriotisme merujuk pada sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya –jiwa dan raga- untuk kejayaan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam konteks kehutanan, nasionalisme kehutanan jelas memberikan perspektif tentang nilai dan budaya cinta kepada hutan –tropis- dalam bentuk bentang alam beserta seluruh ekosistemnya. Merawat, melestarikan dan memanfaatkan secara bijak kelimpahan mega biodiversity. Serta merangkul keberagaman masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Menjaga tradisi dalam sebuah relasi setara dan harmonis.

Nasionalisme selalu beririsan dengan patriotisme.  Bak dua sisi dalam sekeping mata uang. Diaktualisasikan dalam sikap patriotik. Mengelola sumberdaya hutan secara adil dan berkelanjutan. Demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Filosofi ini sesuai amanat konstitusi. Sejiwa dengan ideologi pembangunan kehutanan. Rakyat sejahtera hutan lestari. Berapapun biaya dan seberapa besar tantangannya. At all cost.

Dengan pisau analisa di atas, semua bisa melakukan refleksi. Sebagai rimbawan sejauh mana sudah berjuang dan memberikan kontribusi. Bagi pengembangan nasionalisme kehutanan.

Sejarah mencatat dengan tinta emas. Para tokoh-tokoh rimbawan senior dan pionir memulai babad alas hutan dan kehutanan. Menemukan momentum di tengah krisis politik 1965 yang menghasilkan keterpurukan ekonomi. Melalui pembangunan hutan -di era Orde Baru- para rimbawan mengejawantahkan nasionalismenya. Melalui  pengusahaan hutan tropis di luar Jawa. Demi kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat. Menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu pilar pembangunan nasional saat itu. Leading sector. Dengan berbagai peran dan kontribusinya. Membuat hutan menjelma menjadi emas hijau. Berkilau. Bahkan hingga terlihat di mata dunia.

Dalam satu periode pembangunan, nasionalisme kehutanan mampu menghadirkan kebanggaan. Bahkan kejayaan.  Tercermin antara lain dari “kemakmuran” rimbawan. Di atas rata-rata profesi lain. Juga penghargaan atas jasa dan kontribusi sektor kehutanan. Dalam pembangunan nasional. Di era itu, nasionalisme kehutanan mewujud menjelma menjadi sebuah jiwa korsa rimbawan. Kokoh dan solid.

Menggugat Nasionalisme Kehutanan

Nasionalisme adalah sebuah paham. Karenanya bukan merupakan sesuatu yang statis. Apalagi mati. Nasionalisme adalah paham yang hidup. Berubah dan senantiasa berkembang. Sesuai dengan dinamika zaman. Menyesuaikan perubahan lingkungan strategis. Dipengaruhi berbagai nilai yang merupakan resultante hasil interaksi, relasi bahkan pertarungan berbagai sistem dan tata nilai komunitas. Baik di tingkat lokal, regional maupun global.

Apa yang terjadi dan berkembang dengan rimbawan dan sektor kehutanan kemudian adalah fakta. Kehutanan adalah sumberdaya terbaharukan sehingga bersifat berkelanjutan. Yang terjadi sebaliknya. Pengusahaan hutan alam terus meredup. Satu per satu HPH tutup. Hutan tanaman (baca : HTI) yang “digadang-gadang” sebagai substitusi produsen kayu baru  tak kunjung mewujud. Tatkala pengusahaan hutan di hulu menurun. Tentu berdampak melemahnya industri kehutanan di hilir.

Terlena kegemilangan masa lalu. Tak sempat –atau mungkin enggan- memperkuat dan melakukan adaptasi sesuai dinamika industri kayu. Jangankan re-investasi ke sumberdaya hutan, mengembalikan investasi ke industri kayu pun minim. Bahkan tak ada. Yang memprihatinkan. Banyak industri kayu menerapkan prinsip “kacang lupa akan kulitnya”. Menjadikan hutan sebagai modal bagi pengembangan bisnis lainnya. Yang notabene sama sekali tak ada hubungannya dengan hutan atau kayu.

Perlahan namun pasti.  Peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan tergeser sektor berbasis lahan lainnya. Bahkan akhirnya menggantikan posisi kehutanan. Sebagai primadona baru. Sebut sektor perkebunan dan pertambangan. Masing-masing sawit dan batu bara.

Bagaimana dengan aspek lainnya di kehutanan ? Tidak jauh berbeda. Kian menipisnya rasa cinta hutan (baca : nasionalisme kehutanan) para rimbawan, menyebabkan kegiatan rehabilitasi dilakukan setengah hati. Rehabilitasi dan reboisasi tak lebih dari sebuah kewajiban. Tentu saja tidak seluruhnya. Namun kini sebagian besar pekerjaan – pekerjaan kehutanan tidak disertai nilai-nilai luhur kehutanan. Dilakukan tak lebih menjalankan pekerjaan. Sekedar menggugurkan kewajiban  Normatif. Sangat mekanistik.

Nasionalisme kehutanan hari ini mendapat tantangan yang sangat nyata. Riil dan konkrit. Dalam bentuk ancaman kelestarian hutan. Malpraktek perambahan hutan. Penebangan liar di hutan lindung dan Taman Nasional. Perburuan satwa illegal. Pembuangan limbah dan sampah illegal. Kian banyak dan meluasnya DAS kritis. Kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun. Hingga masih banyak malpraktek lain yang mengancam kelestarian hutan keanekaragaman hayati. Juga kian memiskinan masyarakat lokal.

Chauvinisme Kehutanan ?

Fenomena lain. Kini, banyak pihak menunjuk telak kehutanan (baca : Rimbawan) sebagai sektor sekaligus profesi yang a-sosial. Tidak memiliki sikap toleran dan kerjasama. Dengan sektor dan profesi lain. Ditengah pesatnya pembangunan dan tantangan global, kebutuhan akan kerjasama diantara sektor satu dengan lainnya adalah sebuah keniscayaan.

Menghadapi kehutanan seperti menemukan tembok atau batu karang. Keras. Tak bergeming. Menghadapi kehutanan bak terjebak di jalan buntu. Macet bahkan mandeg. Hutan adalah hutan. Titik. Walaupun kawasannya sudah “gundul licin” tidak produktif, namun dari sisi status tetaplah kawasan hutan. Tentulah fenomena ini dianggap aneh oleh kalangan awam dan publik. Menanam tanaman bukan kehutanan di kawasan hutan adalah haram. Pelanggaran hukum yang bisa dipidanakan.

Yang tak kalah memprihatinkan. Investasi di kehutanan yang penuh potensi ekonomi, membutuhkan waktu bertahun tahun. Tanpa standar biaya yang pasti pula. Bukan hanya para investor yang frustasi. Lembaga lain di pemerintahan pun seperti kehabisan akal. Bingung.

Kalau sikap itu dikatakan sebagai sebuah nasionalisme kehutanan, maka bisa jadi itu adalah sebuah nasionalisme kehutanan yang berlebihan. Nasionalisme kehutanan sempit yang justru kontra produktif. Bukan saja bagi sektor lain, namun bagi sektor kehutanan itu sendiri. Analog dalam konsep politik, sikap itu bisa dinilai sebagai sikap chauvinis. Ingin sektor kehutanan berkembang  dengan mengabaikan bahkan meniadakan sektor lain. Tentulah dalam konteks NKRI ini tidak pas. Dalam konteks konstitusi hal ini harus diluruskan.

Tengok fakta “acakadut” di lapangan. Banyak kawasan hutan sudah “terlanjur” menjadi kebun sawit. Tanaman yang diharamkan. Tidak sedikit pula yang menjadi kebun kopi atau  kebun coklat. Bahkan ada pula yang menjadi areal pertambangan.  Masih mending kalau dilakukan rakyat desa hutan. Pun hanya beberapa puluh hektar. Sekedar menyambung hidup. Jelas solusinya masih bisa “terkait” konstitusi.

Namun bila pemiliknya adalah para cukong. Yang bermain mata dengan oknum pejabat dan oknum aparat. Dengan luas ribuan hektar. Bernilai ekonomi luar biasa besar. Karenanya sangat merugikan negara. Sementara kehutanan dan rimbawan hanya diam membisu. Tidak berusaha meluruskan (baca : menegakkan aturan). Jelas sebuah pelanggaran profesi. Bahkan pengkhianatan kepada ibu pertiwi.

Bagaimanapun, tiada kata terlambat. Semoga 75 tahun pasca kemerdekaan RI, seluruh rimbawan bisa melakukan refleksi. Sejauh mana nasionalisme kehutanannya. Tidak perlu menuntaskan pekerjaan-pekerjaan besar. Cukup mengawali dari hal-hal kecil sesuai kapasitas dan kemampuan. Demi menjaga tumbuh berkembangnya nasionalisme kehutanan. Mulai dari cinta hutan. Merawat keanekaragaman hayati. Serta merangkul masyarakat lokal. Bila tidak, quo vadis nasionalisme kehutanan.

***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *