Optimasi lahan itu sederhana, mudah dilakukan dan dapat memberikan peningkatan produktifitas.

MULTI usaha kehutanan (MUK) disebut sebagai sebuah terobosan ekonomi. Bahkan diharapkan mampu mendongkrak peningkatan ekonomi nasional. Lalu apa dan bagaimana dengan MUK? Hal itu dibahas dalam sebuah fokus group discusion (FGD) di Hotel Arch Pajajaran – Bogor, pagi tadi (Senin, 20/11).

Acara yang dihadiri para pihak dari berbagai instansi (KLHK, akademisi, peneliti, Kemenko Perekonomian, DPR, LSM dan sebagainya itu dibuka oleh Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain,  Wakil Rektor IPB University.

Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain

Dalam sambutannya Iskandar menyampaikan, bahwa melalui kegiatan ini akan dapat meningkatkan peran penelitian dalam memajukan perekonomian di Indonesia.

“Dengan FGD ini semoga kita bisa lebih berkembang dan lebih maju lagi,” tutur Iskandar.

Selanjutnya Prof. Dr. Dodik R Nurrochmat, sebagai pembicara mengatakan MUK itu sebenarnya adalah cara pandang, pintu masuk, kebijakan pemungkin pengelolaan hutan yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya MUK bisa menjadi solusi masalah kemiskinan.

“Kemiskinan itu bukan masalah, tapi gejala masalah. Akar masalahnya adalah di kebijakan pembangunan. Termasuk dalam pembangunan kehutanan,” jelas Dodik.

Optimasi Lahan

Lebih jauh dikatakannya, bahwa penyebab utama deforestasi adalah rendahnya produktifitas hutan. Untuk itu, pemanfaatan lahan perlu dioptimasi. Multi Usaha Kehutanan (MUK) adalah solusinya.

“Ini penting. Lihat saja Ethiopia, yang dulu sangat minim produksi pangan dan sebagainya, melalui optimasi lahan, kini berubah menjadi lebih maju. Kita mestinya malu dengan Ethiopia,” tutur Dodik.

Prof. Dr. Dodik R Nurrochmat

Dikatakannya bahwa optimasi lahan itu sederhana, mudah dilakukan dan dapat memberikan peningkatan produktifitas. Deforestasi disepakati harus distop, tapi jangan sekarang. “Kalau sekarang disetop Ibaratnya  belum sempat kaya sudah dihentikan. Kan pelarangan deforestasi bukan berarti tidak ada penebangan sama sekali,” jelas Dodik

Aplikasi berbagai jenis tanaman di kawasan hutan manunjukkan di banyak tempat dapat memberikan hasil (nilai ekonomi) yang cukup tinggi. Misalnya tanaman jengkol di Sumatera Barat, hasilnya sangat memuaskan, bisa mencapai Rp 400 juta per hektar setahun. Begitu juga contoh di sejumlah daerah lain. Di Garut, bersama Astra Group IPB mengembangkan alpukat di kawasan hutan.

Suasana FGD di Hotel Arch Bogor, Senin (20/11)

Ada juga model MUK yang mengaplikasikan desa wisata di lahan bekas tambang. Hasilnya luar biasa. Perekonomian di desa tersebut berkembang pesat. “Kepala desanya pakai Alphard,” kisah Dodik.

MUK lainnya adalah perikanan darat. Bukan tidak mungkin,  perairan (setu, sungai) sangat potensial untuk usaha perikanan masyarakat sekitar hutan. Mengapa tidak? “Di dalam hutan seluruh Indonesia ada 5 juta hektar badan air, baik sungai, danau atau setu dan rawa,” ungkap Dodik.

***Riz***