Peran agribisnis sebagai lokomotif perekonomian nasional hingga kini masih jauh dari yang diharapkan. Masih banyak yang perlu dibenahi, dan itu sangat ditentukan oleh kebijakan politik dan pemerintahan di republik ini. Indonesia disebut-sebut sebagai negara agraris. Seratus juta lebih orang Indonesia bergantung pada sektor pertanian dan maritim. Tetapi ironis jika Indonesia yang tiga perempatnya terdiri dari laut, sekarang mengimpor garam dan beberapa jenis ikan.

Negeri ini yang sudah ratusan tahun punya jutaan hektar sawah juga mengimpor beras, gula, bawang, cabai, singkong, daging, dan susu. Hasil pertanian sudah tidak menunjuk nilai ekonomi yang efektif, kebutuhan komoditas pertanian di penuhi dari import luar negeri seperti kedelai, jagung, gandum, jeruk, apel dan bahkan garam.

Akibatnya yang terjadi adalah kelangkaan aliran rupiah ke desa, pasar tradisional sepi, sampai-sampai warung di desa banyak yang bangkrut. Andaikan lokomotif perekonomian dikembalikan ke desa, maka masa depan negeri ini tampaknya akan bersinar cerah.

Apakah petani harus berperang dengan penguasa pelabuhan agar menghentikan masuknya komoditas bahan pangan dari luar negeri? “Saya kira kita membutuhkan langkah kebijakan kongkret saja dari pemerintah,” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Jakarta beberapa waktu lalu.

“Rakyat itu sebenarnya mampu berbuat di atas lahannya sendiri, Cuma masalahnya berapa luas kepemilikan lahan petani kita. Mau dibagaimanakan juga tetap sulit. Reforma agraria kita harapkan segera terlaksana di lapangan. Jangan hanya retorika dan sepotong-sepotong,” tukasnya.

***Riz***