Sukawangi IV: Menunggu Berkah Land Reform

Jika suatu saat nanti redistribusi lahan benar terjadi, lalu bagaimana nasib petani? Bukan mustahil, yang ada kelak hanyalah buruh, karena lahan semakin banyak dibeli oleh orang kaya dari kota.

Pedagang beras keliling. Potret agribisnis tradisional di Sukawangi

Arca adalah dusun terpadat penduduknya di Desa Sukawangi – Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. GI tertarik mengeksplore kampung ini, karena cukup unik.

Hampir seluruh warganya berprofesi petani, terutama komoditas hotikultura (aneka sayuran semusim dan bunga potong). Namun, bila ditanya, ternyata hanya sebagian kecil penduduk di lokasi ini yang memiliki lahan. Memang, sepintas telihat, bahwa kebun sayuran terbentang luas, batasnya belantara –hutan yang dikelola oleh PT. Perhutani, serta rumah-rumah (perkampungan).

Dari segi produktifitas, kampung ini tidak bisa dipandang ‘sebelah mata’. Untuk komoditas wortel saja –yang merupakan produk utama petani di sini, setiap hari selalu ada hasil panen yang dikirim ke beberapa pasar di Jakarta, Bogor dan Tangerang. Jumlahnya puluhan ton. Belum lagi aneka sayuran lainnya,  seperti brokoli, sawi putih, tomat, terong ungu, kol dan pakcoi.

Arca juga merupakan dusun terujung di timur Kabupaten Bogor. Batasnya sebuah sungai kecil yang berhulu di Curug Cibeet. Di seberangnya adalah Kabupaten Cianjur (Desa Batulawang). Tiap hari, para petani Arca bergerak menyeberangi pebatasan, berjalan kaki atau naik sepeda motor. Kebun sayuran mereka ada di Batulawang, yakni desa pertama kabupaten itu di Jalur Puncak Dua. Sebagian petani lagi berkebun di Kampung Arca (wilayah Bogor).

Tanpa Kepastian

Seperti disebutkan tadi, hanya sebagian kecil petani yang memiliki lahan untuk ditanami sayuran atau bunga potong (hortensia). Selebihnya, adalah petani penggarap, baik di lahan sewa atau gadai. Ada pula yang berprofesi sebagai buruh tani, sebatas menerima upah dari jasa mengolah lahan. Sebagian kecil lagi melakukan kerjasama bagi hasil, antara pemodal dengan pengelola hingga panen.

Bicara sertifikat, nyaris semua pemilik lahan belum memilikinya. Sementara di lahan garapan pun tidak ada kepastian, sampai kapan mereka bisa memanfaatkannya. “Itu kan tanah negara. Karena tidak diolah dan menganggur, maka ditanami oleh masyarakat. Kita butuh, sementara lahan itu ditelantarkan bertahun-tahun, apa salahnya kita garap,” ungkap seorang petani yang bernama Kusnadi.

Bahkan sebagian besar lahan garapan itu sudah dikelola warga secara turun-temurun, ditanami sayuran atau bunga hortensia. Terkadang, dalam skala kecil (spot-spot) ditanami kopi, terutama di pinggiran areal pertanaman sayuran.  Ada kalanya, disaat terdesak, perlu  uang dalam jumlah yang cukup –untuk sekolah dan lain-lain, maka lahan garapan itu digadai ke petani lain yang punya uang, atau bahkan ada yang dijual.

Kabar Redistribusi Lahan

Sejak beberapa tahun lalu, terbetik kabar bahwa pemerintah semakin serius melakukan “reforma agraria (land reform). Cukup luas lahan di kawasan Puncak Dua yang berpeluang untuk dibagikan kepada rakyat.  Sebuah media massa pernah memuat kabar mengenai hal tersebut, tapi kemudian (melalui media juga) ada sebuah perusahaan yang membantah kabar itu, bahkan mengancam akan ‘mempolisikan Dinas Pertanahan Kabupaten Cianjur – yang menjadi sumber berita sebelumnya itu.

Perihal kabar bakal ada retibusi lahan di kawasan tersebut, beberapa petani mengaku senang dan gembira. Namun sebagian lagi antara percaya atau tidak.

Kenapa begitu? Jawabnya ialah karena kurang adanya kejelasan. Informasi itu terasa bagai “kabar burung” di telinga petani. Sementara waktu terus begulir, tahun ke tahun berlalu. Akhirnya, tak sedikit petani yang melepas garapannya ke pihak lain, bahkan ke pemilik modal dari kota.

Lantas, kembali muncul pertanyaan, jika suatu saat nanti redistribusi lahan itu benar terjadi. Lalu bagaimana nasib petani? Bukan mustahil, yang ada kelak hanyalah buruh, atau sekedar petani penggarap di kawasan ini. Artinya, yang miskin akan tetap miskin, bahkan bisa jadi semakin miskin –bila anak keturunan mereka tetap betani. Sementara itu, hamparan hijau sayuran berubah menjadi perumahan, vila-vila, atau mungkin lapangan golf. Wah….wah…

Benar kata banyak orang: “Petani itu pasrah, suaranya lemah”. Tapi maaf, ada juga yang ‘sok pintar’, tanpa peduli masa depan dan pentingnya lahan pangan berkelanjutan . Ampuuun…

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *