Pelatihan Perhitungan Emisi RIL, Sebuah Kebutuhan

Perlu dilakukan kegiatan sosialisasi dan pelatihan Standar Khusus ini secara intensif kepada para pemegang izin HPH/PBPH

KINI para pelaku usaha di bidang kehutanan, terutama perusahaan HPH atau PBPH tak perlu kuatir lagi; apakah pembalakan yang dilakukan melebihi batas, sehingga merusak atmosfir?

Seperti diberitakan media ini (baca greenindonesia.co 17/01/22, Terobosan Baru; HPH Bisa Hitung Emisi GRK Sendiri), bahwa saat ini telah ada Standar Khusus Penghitungan Emisi Kegiatan RIL di lapangan. Lalu apa nilai penting Standar khusus tersebut bagi perusahaan HPH atau PBPH?

Menurut Dr. I Wayan Susi Dharmawan, Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), standar ini bisa menjadi acuan bagi HPH atau PBPH dalam merencanakan dan melaksanakan perhitungan penurunan emisi dari kegiatan RIL di lapangan.

Dr. I Wayan Susi Dharmawan

“Perusahaan akan sangat terbantu dengan adanya Standar Khusus ini karena akan memudahkan dalam mengidentifikasi informasi data apa saja yang diperlukan, serta bagaimana memanfaatkan informasi dan data yang ada selama ini lebih maksimal untuk mendukung perhitungan penurunan emisi dari RIL,” ungkapnya kepada GI.

Berkaitan dengan NDC

Wayan Susi yang juga salah-seorang Konseptor Standar Khusus Perhitungan Emisi pada Penerapan RIL tersebut, menjelaskan bahwa Standar Khusus ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan NDC. Dikatakannya, bahwa ini merupakan metodologi yang aplikabel dan sesuai kaidah ilmiah yang akan digunakan oleh HPH atau PBPH dalam melakukan perhitungan penurunan emisi dari RIL.

“Target NDC FOLU Net Sinker tahun 2030 memerlukan dukungan program aktivitas yang dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pencapaian target tersebut. Salah satu kontribusi penting adalah melalui kegiatan RIL di areal ijin HPH atau PBPH,” jelas Wayan Susi.

Lebih jauh dijelaskannya, bahwa pool karbon dalam Standar Khusus ini sudah sesuai dengan cara perhitungan karbon hutan di internasional atau IPCC.  Dalam Standar Khusus ini menggunakan pendekatan perhitungan “Stock Difference” yang secara metodologis telah ditentukan juga dalam dokumen IPCC.

Tantangan SDM

Meskipun secara metodologi, Standar Khusus ini memiliki tingkat aplikabilitas yang baik untuk diterapkan di lapangan, namun menurut I Wayan Susi, masih ada beberapa tantangan penerapan Standar Khusus ini di lapangan. Diantaranya ialah soal kemampuan dan keahlian personel SDM dalam melakukan pengumpulan data dan analisisnya secara akurat. Disamping itu diperlukan kelengkapan data dan informasi serta kualitas data yang tersedia.

Lalu apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan parapihak lainnya agar Standar khusus ini bisa diterapkan oleh pemegang izin HPH atau PBPH?

“Perlu dilakukan kegiatan sosialisasi dan pelatihan Standar Khusus ini secara intensif kepada para pemegang izin HPH/PBPH,” jawab Wayan Susi.

Ditambahkannya, bahwa KLHK –dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, perlu juga memperkuat Standar  Khusus ini dengan menghimbau kepada semua HPH/PBPH yang telah melaksanakan RIL untuk menggunakan Standar Khusus ini dalam penghitungan potensi penurunan emisinya dari kegiatan RIL.

“Selain itu pendampingan teknis secara intensif kepada HPH/PBPH juga harus dilakukan oleh Ditjen PHL dan parapihak lainnya dalam menerapkan Standar Khusus ini agar diperoleh hasil yang maksimal dan sesuai dengan Standar yang telah dibuat,” tutur I Wayan Susi Dharmawan.

***Riz/MRi***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *