Hingga kini perusahaan HPH atau PBPH yang mengimplementasikan teknik RIL secara benar, relatif terbatas. Untuk itu diperlukan standar khusus sebagai acuan metodologi dalam penghitungan emisi GRK melalui pelaksanaan RIL.
TERKAIT Standar Khusus Penghitungan Emisi (SKPE) pada Penerapan RIL, Plt. Kepala Pusat Fasilitasi Penerapan Standar Instrumen LHK Yeri Permata Sari, S.Hut, MT, M.Sc, menyatakan betapa pentingnya instrumen yang baru itu bagi perusahaan HPH atau PBPH.
“Untuk menghitung emisi GRK diperlukan suatu pedoman yang dapat diacu oleh pemegang ijin pengelolaan hutan, dalam hal ini hutan alam,” tegas Yeri.
Lebih jauh dijelaskannya, bahwa dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 8 Tahun 2021, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, PBPH didorong untuk menerapkan RIL, dengan pemberian insentif pengajuan peningkatan efisiensi penebangan khususnya faktor eksploitasi.
“Penerapan RIL merupakan salah satu upaya KLHK yang diharapkan dapat menurunkan emisi GRK,” tegasnya lagi.
Sementara selama ini peraturan yang ada belum mengatur secara detil bagaimana metode penghitungan emisi GRK pada penerapan RIL. Dikatakannya, bahwa untuk mengisi gap tersebut maka perlu disusun Standar Khusus Penghitungan Emisi pada Penerapan Teknik Pembalakan Berdampak Rendah (RIL).
Mudah Diimplementasikan
Standar Khusus tersebut berisi tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penghitungan emisi GRK pada penerapan RIL, sehingga pemegang ijin PBPH dapat menggunakannya sebagai acuan.
Yeri pun menjelaskan, bahwa standar yang baru diterbitkan itu menggunakan bahasa yang sederhana dan dilengkapi dengan ilustrasi yang memudahkan pengguna untuk memahami dan mengimplementasikannya.
“Metode yang digunakan dalam standar ini juga sudah melalui kajian ilmiah sehingga penghitungan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” tambahnya.
Terkait dengan NDC, Yeri Permata Sari memaparkan, bahwa Indonesia menargetkan penurunan emisi nasional tahun 2030 pada sektor kehutanan sebesar 59% dari rencana penurunan emisi nasional. Target penurunan emisi itu dapat terpenuhi, apabila pemegang izin PBPH dilibatkan dalam upaya penurunan emisi tersebut melalui penerapan RIL.
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan iklim (Ditjen PPI) pada 2019 sudah menerbitkan SK No. 8/PPI/IGAS/PPI.2/3/2019 tentang penetapan Forest Reference Emission Level (FREL) Sub Nasional (Provinsi) yang memasukkan metode SFM dan RIL sebagai salah satu upaya pengurangan emisi dari sektor kehutanan.
Menurutnya, kawasan hutan produksi (hutan alam) menjadi kunci penting program penurunan emisi sektor kehutanan. Melalui penerapan Reduced Impact Logging diharapkan mampu mengurangi kerusakan tegakan hutan akibat kegiatan pemanenan di hutan alam.
“Pengurangan tegakan hutan yang rusak ini dalam konteks perubahan iklim bisa dihitung sebagai potensi penurunan emisi. Melalui dokumen FREL dan NDC yang berskala makro tersebut, maka diperlukan standar khusus Penghitungan Emisi pada Penerapan Teknik Pembalakan Berdampak Rendah (RIL) sebagai acuan metodologi dalam penghitungan emisi GRK melalui pelaksanaan RIL,” jelas Yeri.
Dikatakannya, melalui standar ini maka pengelola hutan alam dapat menghitung emisi GRK yang dihasilkan dengan lebih mudah dan akurat sehingga mereka dapat menunjukkan kontribusi sektor kehutanan dalam NDC melalui penerapan RIL.
Keterkaitan dengan SNI
Standar Khusus merupakan salah satu inovasi Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan (Pustanlinghut) KLHK di bidang penyusunan standar melalui pendekatan bottom up. Dengan mengangkat praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan oleh komunitas, pelaku bisnis, asosiasi atau stakeholders lain.

Yeri menyatakan, bahwa Standar Khusus ini dapat memiliki koneksi dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar internasional (ISO). Koneksi dapat berupa diacunya SNI atau ISO sebagai induk dari Standar Khusus namun tetap mempermudah penerapan standar di lapangan oleh masyarakat atau stakeholders.
“Standar Khusus dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi SNI apabila dibutuhkan,” tuturnya.
Tak hanya itu, dari sisi pemerintah, penyusunan Standar Khusus ini merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah (KLHK) terhadap praktik-praktik berkelanjutan yang aplikatif di masyarakat untuk kemudian dikembangkan menuju skema standardisasi yang berkolaborasi dengan stakeholders terkait.
“Standar Khusus Penghitungan Emisi pada Penerapan Teknik Pembalakan Berdampak Rendah (RIL) merupakan pelengkap (complementary) regulasi terkait RIL yang sudah tersedia,” jelas Yeri.
Standar ini merupakan bentuk dukungan melalui standardisasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan termasuk juga mitigasi perubahan iklim untuk mencapai FoLU Net Sink tahun 2030, mengingat Sektor Kehutanan menjadi prioritas utama penurunan emisi nasional.
Ditambahkannya, bahwa proses perumusan Standar Khusus yang menjaring pengalaman, learning by doing, code of conduct yang selama ini dilakukan oleh komunitas atau stakeholders akan memudahkan penerapan dari Standar Khusus ini di lapangan sehingga dapat meningkatkan kinerja pengelolaan hutan agar tetap lestari.
Tantangan di Lapangan
Lalu apa tantangan penerapan Standar Khusus ini di lapangan?
Menurut Yeri Permata Sari, tantangannya adalah belum optimalnya pengawasan yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa standar ini sudah diterapkan dengan baik dan benar. Disamping itu belum optimalnya sinergitas para pihak dalam mendorong penerapan standar ini.
“Meskipun secara teori sudah banyak hasil studi bahwa pelaksanaan kegiatan RIL akan menguntungkan kelangsungan produksi dan cenderung lebih hemat secara ekonomi, faktanya sampai saat ini perusahaan HPH atau PBPH yang mengimplementasikan teknik RIL secara benar relatif terbatas,” ungkapnya.
Untuk itu, Dia menyarankan perlunya dilakukan sosialisasi, diseminasi dan fasilitasi penerapan agar para pemegang izin PBPH dapat mengenal, memahami dan menerapkan standar ini dengan baik dan benar sehingga tujuan penyusunan standar ini dapat tercapai.
“Salah satu upaya agar pelaksanaan RIL menjadi prioritas perusahaan HPH atau PBPH adalah melalui pemberian insentif. Diantaranya ialah dalam bentuk nilai ekonomi karbon (NEK) bagi perusahaan HPH atau PBPH yang sudah menghitung potensi penurunan emisi karbon melalui penerapan RIL, serta upaya meningkatkan sinergi dengan para pihak untuk mendorong penerapan standar khusus ini,” jelas Plt. Kepala Pusat Fasilitasi Penerapan Standar Instrumen LHK tersebut.
***Riz/MRi***
No comment