Pemerintah terus mendorong peningkatan produksi padi nasional. Salah satu yang bisa menjadi solusi alternatifnya adalah varietas padi hibrida.
Teka-teki beras tampaknya belum juga usai terjawab. Isunya masih berputar sekitar rendahnya produksi, teknologi (termasuk benih), dan bahkan impor beras. Alhasil, cita-cita swasembada, atau bahkan menjadi lumbung pangan dunia, bagaikan ‘jauh panggang dari api’.
Padahal menurut Ricky Gunawan, Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo), benih merupakan faktor utama peningkatan produksi. “Salah-satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi adalah dengan padi hibrida,” kata Ricky saat membuka Pelatihan Penangkar Benih Padi Hibrida di Balai Besar Padi, Sukamandi beberapa waktu lalu,
Namun Ricky menyayangkan, untuk mengembangkan benih padi hibrida terlihat pemerintah masih belum antusias. Ada kesan, pemerintah sudah cukup puas dengan varietas inbrida. Sedangkan padi hibrida belum menjadi salah satu alternatif peningkatan produksi padi. “Dengan kurang antusiasnya pemerintah membuat pengembangan varietas unggul padi hibrida menjadi agak tersendat,” katanya.
“Ini menjadi kendala bagi para produsen yang sedang mengembangkan benih hibrida baru,” tutur Desmarwansyah, Direktur Biotek dan Benih – CropLife Indonesia.
Asbenindo menyebutkan, meski sudah sejak 10 tahun terakhir padi hibrida diperkenalkan kepada petani, tetapi sampai saat ini penyerapan benih padi hibrida masih belum maksimal.
Salah-satu penyebabnya adalah kelangkaan benih padi hibrida karena kendala produksi dalam negeri, akibatnya produsen benih tidak mampu mencukupi tingginya minat petani. Untuk itu Asbenindo mengusulkan agar pemerintah memberikan perhatian terhadap pengembangan padi hibrida, karena teknologinya dinilai sebagai salah satu terobosan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia.
Masih Terkendala
Selama ini, baik Asbenindo maupun CropLife menilai, pemerintah belum antusias mengembangkan padi hibrida karena sudah merasa cukup dengan padi inbrida.
Lalu sekarang, timbul lagi pelepasan benih hibrida itu harus melalui syarat yang semakin ketat. Minimal produksi benih 1,5 ton per hektare (ha) dan produksi gabah kering giling (GKG) 11 ton per ha. “Ini juga menjadi kendala bagi produsen benih hibrida dalam negeri,” jelas Ricky.
Menurutnya, saat ini untuk mencapai produksi 1 ton per ha itu sulit. Sementara ketentuan baru ditingkatkan menjadi 1,5 ton per ha. Sehingga menyulitkan produsen untuk melepas varietas benih hibrida baru karena tidak mungkin lolos dari uji pelepasan varietas.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.127 Tahun 2014 mensyaratkan pasca pelepasan varietas padi hibrida diberi waktu 3 tahun untuk impor. Namun Impor dihentikan tanpa ada pemberitahuan oleh Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, tepatnya sekitar Mei 2017, sehingga ini menimbulkan ketidakpastian berusaha.
Desmarwansyah mengatakan, secara umum pengembangan benih padi tidak lepas dari inovasi teknologi, terutama untuk membantu petani. Namun pemerintah terlihat ingin berjalan sendiri dan tidak melibatkan pihak luas, khususnya swasta.
“Saya melihat pemerintah kurang mendukung, terutama dalam pengembangan benih padi hibrida,” tambahnya. Padahal benih padi hibrida menjadi salah satu alternatif peningkatan produksi padi di tengah banyaknya tantangan, khususnya perubahan iklim.***
No comment