Kebakaran – tepatnya pembakaran – hutan selalu menjadi ulang tahun spesial bangsa kita. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap musim kemarau tiba, berbagai pihak bersorak riang gembira, sebagai pertanda, musim membakar telah tiba.
Praktis, murah dan cepat, itulah alasan utama pendekar pembakar hutan. Apakah tidak ada larangan membakar ? Banyak ! Permasalahannya bukan ada atau tidak, tetapi lebih pada aplikasi regulasi di lapangan. Apakah tidak ada penegak hukum di lapangan ? Tentu saja ada. Kenapa pembakaran terus berulang dalam periode waktu yang relatif sama ? Itulah pertanyaannya, sekaligus pertanyaan yang juga berulang tahun.
Marah, sedih dan berbagai luapan emosi ketika kebakaran hutan melanda, seperti rutinitas perdebatan biasa. Persis seperti macet di Jakarta yang dianggap sarapan pagi anak negeri. Adakah perubahan kemacetan ? Ada, semakin parah !
Pembakaran hutan hampir terjadi di semua provinsi langganan seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan berbagai provinsi langganan lainnya. Tapi seperti biasa, hanya heboh sementara, lalu hilang menguap. Persisi seperti asap.
Bangsa kita memang bangsa pelupa. Walaupun setiap tahun terus terjadi, tetapi setelah api mati oleh musim hujan, semua lupa. Semua mengalir seperti biasa. Tidak ada persiapan untuk antisipasi tahun depan. Seolah-olah kebakaran yang menjelang tahun depan, biarlah urusan tahun depan. Kemarahan dan kesibukan memadamkan api tahun sekarang seolah-olah diinginkan dan direncanakan untuk tahun depan.
Kerugian Negara ? Tidak perlu ditanya. Angkanya setiap tahun terus bertambah dan boleh dibilang membanggakan, karena nilainya meningkat. Tahun 2014 diberitakan kerugian Negara mencapai 50 Triliun. Tahun 2015 ada dugaan melompat drastis karena baru sebulan kebakaran mendera, kerugian sudah mencapai 30 triliun. Tahun 2019 ini angkanya kemungkinan lebih fantastis lagi karena luas lahan yang terbakar diduga mendekati satu juta hektar. Wow…..
Kerugian masyarakat ? Semua sudah tahu, bahkan semutpun tahu. Masyarakat dirugikan karena siswa libur sekolah, penyakit iritasi mata menghampiri dan penyakit gangguan pernafasan siap menunggu. Dokter di rumah sakit, bisa mengobati pasien sambil memejamkan mata karena sudah paham betul jenis penyakit ini dan banyak jumlahnya. Bagi masyarakat yang cukup berada, menjadi kebiasaan akan mengungsi sementara ke provinsi tetangga, ya… bolehlah disebut liburan tambahan selain libur formal sekolah.
Penerbangan domestik, rugikah ? Ya, iyalah ! Sudah tidak terhitung berapa penerbangan yang terganggu atau batal jadwalnya. Saya pernah terbang dari Jakarta menuju Palangkaraya, pesawat tidak bisa landing di Palangkaraya. Mutar – mutar di atas beberapa kali, tidak bisa mendarat. Akhirnya pesawat balik lagi ke Jakarta.
Bagaimana respon negara tetangga ? Kita sudah terbiasa mendengar kemarahan negeri tetangga akibat kebakaran hutan. Bukannya sedih atau berbuat yang lebih kongkrit, sebagian dari kita justeru berkata, “kalau kami eksport oksigen bersih kalian diam. Baru dapat asap sedikit saja sewot”. Nah… inilah respon hebat kita. Bertahun-tahun mendapat kecaman dari negara tetangga akhirnya telinga dan hati kita menjadi imun, kebal. Dan kita bangga.
Semua sudah tahu bahwa setiap musim kemarau berarti musim membakar hutan. Kapan bulan kemarau tiba, semua juga sudah tahu. Tidak perlu yang ahli, masyarakat bisa memprediksi kapan musim kemarau tiba. Bahkan, burung dan hewan di hutan sudah tahu kapan mulai musim kemarau dan kapan mulai musim hujan. Berbagai hewan selalu memperlihatkan tanda-tanda alam tentang rencana pergantian musim.
Semua juga paham betul, bahwa kebakaran di tanah gambut, efeknya jauh lebih dahsyat dibanding tanah mineral. Kebakaran lahan gambut selalu diiringi dengan kebakaran dibawah permukaan. Ya, semua juga sudah paham mengenai ini. Persoalannya bukan paham atau tidak, tetapi adakah niat baik semua pihak untuk memperbaiki kondisi negeri ini. Sama persis seperti korupsi, semua sudah tahu bahwa korupsi haram tetapi sering dianggap halal selama belum tertangkap tangan.
Sekarang kita masih menerima dahsyatnya asap menutupi langit bangsa ini. Istilah darurat asap sudah sering diperbincangkan. Tanpa kesungguhan, kedisiplinan dan kebersihan hati, maka setiap tahun negeri Indonesia tercinta ini akan terus menjadi, Negeri Berselimut Asap, lagi dan lagi. Mau sampai kapan ?
***MRi***
No comment