Strategi adaptasi dan mitigasi dengan sasaran lokasi sentra hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim terus dilakukan. Salah-satunya melalui jaringan irigasi sprinkler. Namun ini tidah murah bagi petani, yang umumnya berskala kecil.
SEJAK Juli lalu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan akan adanya ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan imbas fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang mengakibatkan kekeringan.
Situasi ini menurutnya berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional. Untuk itu dia mengingatkan agar pemerintah daerah melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera.
“Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman,” ungkap Dwikorita di Jakarta, Jum’at (21/7/2023).
“Di sektor perikanan, perubahan suhu laut dan pola arus selama El Nino dan IOD positif yang mendingin, biasanya justru berpotensi meningkatkan tangkapan ikan. Peluang dari kondisi ini harus dimanfaatkan karena dapat mendukung ketahanan pangan nasional,” tambah dia.
Dwikorita menyebut, fenomena El Nino dan IOD Positif saling menguatkan sehingga membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah. Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, kata dia, maka pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.
Puncak kemarau kering ini, tambah Dwikorita, diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga bulan September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun lalu.
Irigasi Alternatif
Kementerian Pertanian melalui Ditjen Hortikultura mengatakan, bahwa ada tiga strategi kebijakan pembangunan hortikultura terkait perubahan iklim, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Strategi antisipasi dengan mengadakan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif.
Dilansir dari republika.co.id, Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf, menyebutkan, bahwa strategi adaptasi dan mitigasi dengan sasaran lokasi sentra hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim terus dilakukan. Diantaranya diantaranya adalah teknologi hemat air (irigasi tetes/sprinkler/kabut), teknologi panen air (embung, sumur dangkal, sumur dalam), dan penampungan air sementara (gorong-gorong beton).
Sistem irigasi sprinkle ini pada dasarnya menggunakan air yang bertekanan dan keluar melalu perangkat yang disebut sebagai penyiram (sprinkler). Penyiram (sprinkler) biasanya terletak pada pipa yang disebut lateral. Air disemprotkan ke udara dan kemudian jatuh masuk ke dalam tanah, menyirami tanaman yang ada di sekitarnya.
Sistem irigasi sprinkler menggunakan sistem penyemprotan air seperti curah hujan alami. Tekanan air disalurkan kemudian dikeluarkan melalui nozzle yang kemudian memecahkan air sehingga keluar seperti titik-titik air hujan.
Tekanan air berasal dari pompa yang mendorong air melalui pipa kemudian keluar melalui nozzle. Nozzle selain berfungsi sebagai pemecah air, juga dapat digunakan untuk mengatur tekanan jarak dan banyak sedikitnya air yang keluar.
Bagi petani sayuran di daerah dataran tinggi, sistem irigasi sprinkler bukan hal yang baru lagi. “Mereka yang punya uang (modal) bisa saja membeli peralatan irigasi kincir (sprinkler –red),” tutur seprang petani kecil di Sukawangi, Puncak Dua Bogor kepada GI beberapa waktu lalu.
Dikatakannya bahwa biaya irigasi tersebut cukup mahal. Karena tidak hanya perangkat sprinklernya saja yang harus disediakan, tapi juga pipa atau selang air yang cukup panjang hingga sampai ke lokasi. “Dihitung-hitung mahal juga, kami tidak sanggup,” tutur petani itu.
***Riz***