Gaharu Lumpur; Ada Apa dan Mengapa..?

Kualitas aroma yang dihasilkan tidak kalah dengan resin dari kayu gaharu pada umumnya.

SUDAH gaharu cendana pula – sudah tahu bertanya pula…  Ini bukanlah bercanda, tapi serius sesuai fakta, meski mungkin belum banyak yang tahu. Ada apa? Dan mengapa disebut gaharu lumpur?

Memang, ternyata ada gaharu lumpur. Tetap harum dan harganya sangat mahal, meski terkubur dalam lumpur (decaying log). Sama dengan gaharu yang tumbuh berupa pohon hidup, gaharu lumpur hingga saat ini masih menjadi primadona untuk dicari sebagai komoditas bernilai tinggi.

Khusus gaharu lumpur, geliat perdagangannya masih kencang, terutama di wilayah timur Indonesia. Seperti laporan yang diterima GI dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), diketahui bahwa gaharu lumpur dari marga Gyrinops tersebut memiliki distribusi utama di Indonesia bagian timur (Maluku hingga Papua).

“Sebagian besar komoditas tersebut merupakan hasil penebangan sejak tahun 1995,” ungkap Laode Alhamd, Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN. Dikatakan bahwa gaharu lumpur tumbuh adaptif pada tepi-tepi sungai dengan kondisi berlumpur. Makanya dikenal dengan istilah ‘gaharu lumpur’.

Hasil tebangan tersebut berupa batang kayu (log) yang dibiarkan jatuh dan tertimbun secara alami dalam tanah. Saat itu, penebangan dilakukan hanyalah semata untuk membuka akses jalan menuju ladang atau membuka lokasi kebun baru bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.

Gaharu; Buat Apa?

Gaharu terkenal dengan resin dengan aroma harum. Komoditas berupa kayu ini telah diperdagangan sejak abad ke 20 di Indonesia. Hingga tahun 1980, perdagangan kayu tersebut mencapai angka tertinggi, yakni sebesar 500 ton. Diantaranya, jenis yang terbanyak adalah Aquilaria malaccencis (Appendix II CITES).

Penyebab tingginya kebutuhan gaharu disebabkan karena manfaatnya sebagai obat tradisional di negara-negara Asia Tenggara, India, Persia, Arab, Bangladesh hingga Tibet. Maka jagan heran jika harga gaharu pun ‘selangit’.

Umumnya gaharu digunakan sebagai pengobatan nyeri sendi, penyakit terkait inflamasi, dan diare. Disamping itu, gaharu memiliki agen stimulan, obat penenang dan kardioprotektif. Hal itu disebabkan adanya kandungan senyawa guia dienalselina-dienone, dan selina dienol dalam gaharu.

Gaharu Lumpur..?

Jenis ini sebenarnya ada tanpa sengaja. Seperti disebutkan diawal, ini adalah hasil penebangan sekitar tahun 1995, lalu terbenam di dalam lumpur.

Pada tahun 2000-an, tanpa disangka, kayu gaharu hasil tebangan tersebut mengeluarkan aroma yang sngat harum. Semerbak aroma itu, memicu orang untuk menggali tanah, lalu ditemukan potongan kayu gaharu berlumur lumpur. Lalu istilah ‘gaharu lumpur’ pun santer.

Nilai ekonominya tinggi, sehingga pencarian gaharu lumpur terus dilakukan oleh masyarakat secara masif hingga saat ini. Bahkan kegiatan ini dijadikan sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat yang berada di Kabupaten Asmat dan Mappi, Papua.

Gaharu lumpur itu berupa ‘gubal (salah satu kelas perdagangan dan merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan, diperoleh dari kayu gaharu dengan aroma wangi). Kualitas aroma yang dihasilkan tidak kalah dengan resin dari kayu pohon hidupnya.

Perlu Pelestarian

Pengambilan secara terus menerus dapat menyebabkan kelangkaan gaharu lumpur nantinya, saat ini umumnya hanyalah berupa sisa-sisa akar bekas tebangan yang terkubur bersama lumpur dengan ukuran diameter kurang dari 50 cm.

Oleh karena itu, agar gaharu lumpur tetap lestari (sustainable), maka perlu dilakukan pembatasan eksploitasi, pembatasan perdagangannya. Disamping itu perlu dilakukan penanaman di habitat asli.

Penanaman itu sebaiknya mengkombinasikan berbagai jenis tumbuhan yang mampu berasosiasi dengan jenis gaharu. Tujuannya adalah;  agar kelangsungan hidup jenis gaharu dapat terjaga.

Penulis: Laode Alhamd (Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN)

***Riz***

Redaksi Green Indonesia