Kritik keras disampaikan oleh banyak pihak terkait kebijakan food estate. Dikatakan bahwa hal ini memperparah keadaan di tengah ancaman perubahan iklim.
SEBUAH Pers Release berlogo tiga (WALHI, Pantau Gambut, dan ID Comm), diterima GI beberapa hari lalu. Judulnya; “Food Estate: Terlalu Banyak Mudaratnya daripada Manfaatnya”.
Dalam Siaran Pers tersebut dipaparkan, bahwa tiga tahun setelah dicanangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek lumbung pangan atau food estate terus menuai polemik. Klaim keberhasilan food estate dalam meningkatkan produktivitas pangan oleh Menteri Pertanian dan Gubernur Kalimantan Tengah, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.
Proyek ini justru menemui beragam permasalahan, yakni banyak terjadi gagal panen, perambahan hutan dan tanah masyarakat adat, hingga akhirnya berdampak pada terjadinya bencana alam serta konflik sosial.
Dikatakan, para pihak tersebut berpandangan bahwa membangun kedaulatan pangan seharusnya berorientasi pada pemberdayaan pangan lokal dengan pelibatan masyarakat setempat dan mengindahkan beberapa aspek. Diantaranya aspek keseimbangan lingkungan, keberlanjutan, dan tradisi masyarakat lokal.
Rusaknya Ekosistem
Angga Dwiartama, Dosen dan Peneliti Sosiologi Pertanian-Pangan, Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, menurut Data BKN 2021, tentang Indeks Ketahanan Pangan Indonesia yang menunjukkan, bahwa ketersediaan komoditas beras, ikan, dan minyak goreng sudah jauh melebihi konsumsi nasional.
“Namun sayangnya, seperti di daerah Papua terjadi kerentanan pangan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya masalah utama pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi, yakni dari harga yang harusnya terjangkau, ketersediaan, akses, serta pemenuhan hak-hak para petani,” ungkap Angga.
Hal itu dikatakannya pada acara Diskusi Media “Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?” yang berlangsung secara daring beberapa hari lalu.
Lebih lanjut, Angga mengatakan bahwa sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran. Yang dimaksud adalah dengan menjustifikasi tindakan pembukaan lahan untuk proyek food estate.
“Akibatnya, tujuan utama untuk pemenuhan pangan melalui sistem pangan dan sumber daya lokal (seperti diamanatkan di dalam UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan) justru menjadi terlupakan,” jelas Angga. Ditambahkannya bahwa pertanian monokultur dan berskala besar akan merusak ekosistem.
Resiko Karhutla
Pada kesempatan yang sama, Wahyu A. Perdana selaku juru kampanye Pantau Gambut mengungkapkan, bahwa penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp 1,5 triliun untuk proyek food estate di tahun 2021-2022, terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen.
Hal itu terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi. Tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar,” tuturnya.
Ditambahkannya, dari riset yang dilakukan olhe Tim Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi (high risk) Karhutla. Menurut Wahyu, 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.
“Perlu dicatat, bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara. Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya,” tambah Wahyu.
Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya.
Di sisi lain, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, turut berpendapat, bahwa kebijakan negara terkait proyek food estate selain kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, juga membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah.
Bukan Solusi
Menurut WALHI, pengalaman selama puluhan tahun para petani tradisional dalam bercocok tanam dan menjaga alam, telah dinegasikan dengan kebijakan food estate.
“Mengacu kepada temuan kami di lapangan, kedaulatan pangan lokal berisiko punah akibat ekspansi monokultur dan penyeragaman pangan yang dipaksakan untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bisnis,” jelas Uli.
Walhi pun menyarankan agar kembali pada konsep tata kuasa petani dan masyarakat, tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat.
Sementara Ray Rangkuti, aktivis dan pengamat politik, menyesalkan proyek food estate yang selalu menjadi agenda pemerintah di setiap periode kepemimpinan presiden terpilih. Padahal, proyek ini tidak pernah memecahkan masalah fundamental pangan di negeri ini. Pasalnya, upaya itu lebih menitikberatkan pada bobot kepentingan sisi ekonomi dibandingkan dengan penyelesaian masalah pangan.
“Berbagai narasi saat ini terus bergulir, seperti Ibukota Negara (IKN), Omnibus Law, UU KPK, dan reformasi institusi kepolisian. Sementara, masalah food estate bisa jadi menempati posisi paling akhir dari rangkaian isu tersebut,” ungkap Ray.
Dia menghimbau agar para akademisi dan NGO terus menyuarakan betapa pentingnya hal ini untuk terus didorong, terutama dalam agenda kampanye di tahun 2024. Dengan demikian, masyarakat tidak selalu disajikan berita dari isu global, tapi juga mulai peduli pada isu-isu spesifik dan penting.
“Ini penting, krena hal ini terkait dengan ancaman kesejahteraan masyarakat dan kerusakan alam yang luar biasa, karena kerugian yang ditimbulkan dari proyek food estate jauh lebih banyak daripada keuntungannya,” kata Ray.
***Riz***