Dr. I Wayan S Dharmawan: Peran Penting Validator – Verifikator

Peran validator dan verifikator sangat krusial dalam percaturan ekonomi karbon. Dari profesi itulah, bisa ditentukan apakah suatu pihak (perusahaan) layak mendapat pengakuan atau sertifikat penurunan emisi karbon.

“SAYA membayangkan nanti bapak ibu peserta akan menjadi Validator dan Verifikator dalam Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon,” ungkap Dr. I Wayan Susi Dharmawan, peneliti dari BRIN di hadapan puluhan peserta Pelatihan Validator dan Verifikator GRK Sektor FOLU dan Energi, yang digelar PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL) bekerjasama dengan IPB University siang tadi (Jumat 17/03).

Menurutnya peran validator dan verifikator sangat krusial dalam percaturan ekonomi karbon. Dikatakannya, dari profesi itulah, baru bisa ditentukan apakah suatu pihak (perusahaan) layak mendapat pengakuan atau sertifikat penurunan emisi karbon.

MRV
Materi yang disajikan Wayan siang tadi memang cukup menarik perhatian peserta training. Mengapa tidak, Peneliti Utama BRIN itu menjelaskan bahwa MRV merupakan suatu rangkaian kegiatan untuk mengukur, melaporkan dan memverifikasi pencapaian penurunan emisi GRK.

Sebagai calon validator dan verifikator, bagi peserta training, hal ini tentu sangat menarik.
Lebih jauh Wayan menjelaskan bahwa kegiatan validasi dan verifikasi tersebut meliputi aktifitas mitigasi emisi GRK secara berkala, harus sahih, akurat, menyeluruh, komparable, konsisten dan transparan

“Kegiatan itulah yang menjadi bidang kerja validator dan verifikator,” jelas Wayan.

Dia pun menjelaskan bahwa perkembangan IPCC Guidelines merupakan hal yang penting dan menjadi perhatian para validator dan verifikator.

Selanjutnya Wayan menjelaskan soal MRV. Kenapa MRV itu diperlukan?

Karena merupakan jaminan komitmen negara-negara peratifikasi UNFCCC terkait implementasi program penurunan emisi. Disamping itu, MRV diperlukan untuk mengakomodir kondisi wilayah yang beragam, serta untuk membangun dasar yang kokoh dalam mekanisme insentif aksi mitigasi.

“MRV jangan hanya dilihat dari sisi penghiungan stok karbon saja, tapi juga perlu diperhatikan kerangka pengaman, misalnya perlindungan masyarakat adat, potensi kebakaran dan lain-lain,” jelas Wayan.

*Acuannya adalah FRL/FREL,” katanya.

Wayan pun menambahkan, bahwa tingkat acuan (FREL/FRL) tersebut digunakan dalam menilai prestasi capaian penurunan emisi. Hal tersebut juga bisa digunakan dalam konteks perdagangan karbon.

Peluang NEK

Beberapa peserta mengaku bersemangat mendengar paparan peneliti dari BRIN tersebut. Mengapa tidak? Dengan adanya kebijakan implementasi NEK, maka berarti ada peluang yang muncul. Diantaranya ialah peluang bisnis; perdagangan karbon.

Namun Wayan memperingatkan, perlunya kehati-hatian dalam perdagangan karbon. Misalnya antara pemilik lahan dengan pengelola lahan. “Seandainya pemilik lahan tidak paham dengan NEK, tapi sebaliknya, sipemegang ijin kelola mengurus SRN nya. Maka si pemilik lahan tidak mendapat apa-apa,” ujarnya.

Pasalnya, hak atas karbon itu sesuatu yang abstrak. Sementara negara baru bisa memberikan perlindungan atau pengakuan setelah ada sertifikat atau tercatat dalam sistem SRN.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia