Bidara Laut: Si Pahit Penuh Manfaat Namun Semakin Sulit

Oleh: Anita Apriliani Dwi Rahayu1, Krisnawati1, Ogi Setiawan2

Tumbuhan ini mempunyai potensi dalam pengobatan anti bakteri, anti kanker, anti malaria, dan antioksidan.

BIDARA laut, nama itu mungkin masih terasa asing. Namun demikian jenis tumbuhan ini cukup dikenal dengan baik di berbagai wilayah di Indonesia. Seperti di Jawa misalnya, tumbuhan ini  dikenal dengan nama ‘dara putih’, di Bali ‘kayu pait’, dan di NTB dikenal dengan nama ‘songga’. 

Bidara laut mempunyai nama ilmiah Strychnos lucida R. Br,  sinonimnya Strychnos ligustrina, dan termasuk pada famili Loganiaceae. Bidara laut pada umumnya tumbuh di kawasan hutan musim yang kering.

Menurut hasil ekplorasi Setiawan dkk (2014) dan Krisnawati dkk (2017), persebaran Bidara laut di NTB dan Bali tersebar pada kawasan hutan dari timur Pulau Sumbawa yaitu Bima sampai dengan ujung barat Pulau Bali.

Bidara laut mempunyai rasa yang pahit pada semua bagian tumbuhan,  mulai dari daun sampai akar, termasuk buahnya. Masyarakat sekitar kawasan hutan habitat Bidara laut telah banyak memanfaatkan jenis ini sebagai sumber bahan obat tradisional.

Masyarakat jawa mengenal Bidara laut sebagai salah satu bahan jamu yang rasanya pahit, selain bratawali, sambiloto, atau pulai. Jamu pahitan ini biasa dijual oleh penjual jamu gendong dan dipercaya dapat mengatasi berbagai penyakit seperti kencing manis, ginjal, bau badan, dan kolesterol.

Di Bali, jenis ini sering digunakan oleh balian (dukun) untuk pengobatan persendian, diabetes, jantung atau kulit. Di Dompu, NTB, Bidara laut sudah digunakan sebagai obat demam dan malaria sejak masa kesultanan Dompu. Pada masa peperangan antar kerajaan, Kesultanan Tambora juga menggunakan batangnya untuk merapatkan kembali tulang yang patah.

Berpotensi Obat

Keyakinan masyarakat, seperti disebutkan tadi,  juga didukung oleh beberapa penelitian tentang kandungan bahan aktif pada Bidara laut.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Suriaman dkk (2017) dan Manurung dkk (2019) menyebutkan, bahwa tumbuhan ini mempunyai potensi dalam pengobatan anti bakteri, anti kanker, anti malaria, dan antioksidan. Bagian tanaman yang digunakan untuk bahan obat juga bervariasi mulai daun, kulit, kayu, buah dan bahkan akarnya.

Begitu juga dengan proses peracikan obat cukup beragam sesuai dengan bagian tanaman yang di gunakan, seperti direbus, dikonsumsi langsung (buahnya), dan dengan menuangkan air panas pada gelas dari kayu songga untuk diminum.

Bidara laut merupakan jenis yang masih dalam status Least Concern berdasarkan IUCN RedList. Meskipun demikian, kondisi di Indonesia dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap jenis ini untuk berbagai pemanfaatan, menyebabkan kelestariannya menjadi terancam.

Hasil penelitian potensi Bidara laut yang dilakukan oleh Hidayatullah dkk (2018), menunjukkan, bahwa pada kawasan hutan konservasi, jenis ini cenderung masih berlimpah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kawasan yang memang sudah terlindungi dari berbagai kegiatan yang akan merusak ekosistem kawasan konservasi. 

Di sisi lain, untuk kawasan hutan non-konservasi, sangat sulit untuk menemukan jenis Bidara laut khususnya pada daerah pinggir Kawasan. Pada Kawasan ini banyak dijumpai tunggak bekas penebangan dan terjadinya alih fungsi lahan. Kondisi ini tentunya membutuhkan penanganan segera demi menjamin kelestarian jenis Bidara laut.

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian Bidara laut diantaranya adalah melalui upaya domestikasi dengan teknologi budi daya serta pengaturan pemanfaatan alami di habitatnya. Upaya domestikasi telah banyak dilakukan melalui serangkaian penelitian baik pada tingkat persemaian maupun lapangan.

Beberapa peneliti, diantaranya Rahayu, Riendriasari, Krisnawati, Nandini dan Setyayudi (2016 – 2023) telah melakukan ujicoba budi daya baik pada tingkat persemaian dan ujicoba di lapangan.

Pada tingkat persemaian, ujicoba dilakukan dengan pendekatan secara vegetatif (stek pucuk dan batang) dan generatif (biji). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan semai Bidara laut yang optimal adalah dengan menggunakan biji dan perlakuan media tabur top soil + kompos organik dengan perbandingan 1:1 dan media sapih campuran kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat dengan perbandingan 2:2:1.

Uji coba penanaman bibit hasil persemaian di lapangan juga sudah pernah dilakukan. Penanaman Bidara laut dengan penambahan bahan pembenah tanah seperti hidrogel, mulsa, dan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter.

Di sisi lain, upaya lain untuk melestarikan Bidara laut menurut Hidayatullah dkk (2018) adalah dengan cara mengatur pemanfaatan atau pemanenan bagian-bagian tumbuhan ini untuk dipergunakan sebagai bahan obat. Sebagai contoh pemanfaatan kayu hanya dapat dilakukan pada ranting pohon dengan limit diameter tertentu atau hanya dengan memanfaatan cabang-cabang pohon serta kulit batang.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemeliharaan terubusan pada tunggak bekas penebangan. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa potensi terubusan pada tunggak bekas penebangan cukup potensial untuk regenerasi.

Perlu Dukungan

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pelestarian Bidara laut, tentunya memerlukan dukungan dari berbagai aspek, termasuk kelembagaan dan dukungan pasar. Dukungan penelitian dan pengembangan yang lebih advance juga diperlukan khususnya aspek budi daya yang masih mengalami kendala khususnya pada tingkat lapangan. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya Bidara laut juga sangat penting, termasuk bagaimana dampak dari kegiatan manusia terhadap habitatnya, serta cara menjaga kelestariannya, khususnya Bidara laut yang berada di kawasan hutan konservasi.

Aspek kemitraan dan kolaborasi juga sangat penting, melalui kemitraan yang kuat antara pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dan sektor swasta dan masyarakat dalam upaya pelestarian dan budi daya Bidara laut.

Memberikan pelatihan kepada petani lokal dan masyarakat sekitar tentang teknik budi daya, penggunaan yang tepat, dan pentingnya pelestarian tanaman obat ini, juga menjadi prioritas yang dapat dilakukan.

Kedepan, upaya pemanfaatan Bidara laut juga harus menerapkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan, baik habitat Bidara laut maupun pemanfaatannya itu sendiri. Faktor penting lainnya yang juga tidak kalah penting adalah adanya dukungan pasar dan konsumen.*** 

1Peneliti Muda di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, 2 Peneliti Madya di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

(Foto-foto: Dokumentasi pribadi)

Redaksi Green Indonesia